maafkan aku



menangkap segala galaumu
mungkin salahku
telah lancang menarikmu
menyusuri lipatan hatiku
membiarkanmu tersesat disitu
menyulut emosi jiwamu
dalam galau dan kelu
bukan maksudku
membuatmu begitu
*
maafkan aku
telah menyimpan namamu
di satu sudut hatiku
aku
kamu
selalu
mungkinkah selalu? akupun tak tahu.
yang ku tahu
ternyata aku
tlah sayang padamu
terlalu...
hu hu hu :’(
*
titip satu harapku
jangan buang lembaranku
seperti diary itu
biarkan hujan waktu
meluruhkan ragu
maya nyataku adalah satu
*




kunang-kunang dan bintang



***
kunang-kunang diujung kelam
saling berbagi sinar dan kehangatan
berbaris, berkelompok menyusuri gelap
*
satu kunang-kunang terbang sendiri
berharap bertemu kekasih hati
yang sinarnya selalu menemani
dalam malam-malam abadi
*
satu kunang-kunang diujung gelap
berbatas lampu pijar panas
membuatnya silap
hingga hangus lengas
bintang yang bersinar terang malam itu
kini menjadi sepasang
***

Bunga Terindah

Saya cinta bunga. Saya suka bunga, baik itu bunga hidup, ataupun hanya dalam bentuk foto atau gambar saja.  Saking tergila-gilanya dengan bunga, saya sering berkhayal punya taman luas yang ditumbuhi segala macam bunga-bungaan.



Kecintaan saya pada bunga tumbuh sejak saya duduk di bangku SD. Saat itu saya sering memperhatikan nenek saya dalam merawat tanaman. Nenek saya senang bertanam. Beliau mempunyai koleksi tanaman mawar yang bermacam-macam. Salah satunya adalah mawar “matador”, istilah nenek saya. Disebut matador karena bunganya besar dan kelopaknya sangat banyak, berwarna merah tua.

Setiap hari tanaman-tanamannya dirawat seperti merawat bayi. Disirami secukupnya, kemudian dedaunannya  diolesi susu dan dilap. Sambil tak lupa diajak berbicara, bercerita layaknya seorang nenek mendongengi cucunya.

Sepertinya Aku Pernah Bertemu Dengannya

13004206901550258617Suara gemericik air sungai dan hembusan angin yang keras menyapaku. Dedaunan yang saling bergesekkan menimpali dengan iramanya yang khas. Irama ilalang menyanyikan nada-nada minor ditimpali paduan suara serangga yang berderik-derik.

Ramai namun sunyi, itu yang kutangkap dari penjabaran indraku. Aku heran, bisa-bisanya aku berjalan sendiri hingga sampai ditempat ini.

Sedetik aku takjub dengan alam sekitarnya. Danau itu, gunung itu, jelas-jelas aku pernah melihatnya. Duh… kenapa aku jadi ternganga heran begini? Ini khan pemandangan yang seperti didalam foto itu? Yang selalu muncul di otakku. Kenapa aku bisa berada disini?

Aku memutar pandangan ke sekeliling. Sepi sekali, tidak ada rumah penduduk, tidak ada seorangpun. Wah, ternyata aku tersesat. Tiba-tiba aku merasakan hawa hangat berdesir. Ditempat yang demikian sepi, aku tidak merasakan ketakutan sama sekali. Malah merasa nyaman dan begitu begitu akrab. Aku seperti menemukan taman indahku. Tempat bermainku. Aku berlari kesana-kemari. Begitu lepas, tertawa dan menyanyi. Mmmm untungnya disini sepi, jadi tidak akan ada yang mendengar suara falsku ini pikirku.

Pandanganku tertuju pada satu sosok dipinggir danau itu. Diantara pohon-pohon besar itu. Ada sesosok yang tidak asing untukku, memperhatikanku menyanyi. Dia tertawa. Aku tersipu malu, menyadari suaraku yang fals tadi. Aku berlari kearahnya karena aku begitu mengenalinya. Tapi dia malahan berlari menjauh. Aku berlari sekuat tenaga, dia semakin menjauh.

Tiba-tiba aku tersandung batu besar dan..  Olala, aku terjatuh dari tempat tidurku. Sialan, ternyata aku bermimpi. Terbelit selimut dan bantal yang jatuh dimukaku, aku terbangun. Novel misteri yang sedang kubaca terbuka setengah halamannya.

Aku tepekur. Siapa gerangan yang tadi muncul di dalam mimpiku? Adakah dia pria yang selalu hadir setiap pagi melintas di depan rumahku. Kucoba ingat-ingat bagaimana bentuk mukanya. Muka sosok yang hadir di dalam mimpiku, juga muka pria yang selalu melintasi pagiku dengan tergesa.

Ah, dia… benar, itu dia. Pria itulah yang memang merasuki alam mimpiku. Pertanyaanku sekarang, siapa sebenarnya dia?

Kulirik jam di dinding kamarku, hampir pukul tiga dinihari. Aku beranjak dari tempat tidur untuk mencuci muka. Aku teringat, tadi sebelum tertidur aku sedang membaca novel misteri yang belakangan sedang marak diperbincangkan. Aku mengikuti keingin tahuanku untuk menyibak apa sebenarnya isi novel misteri itu. Aku ingin mengetahui kenapa novel ini begitu fenomenal sehingga orang-orang ramai membicarakannya. Aku ingin tahu. Maka, aku menunda kebiasaan tidur lamaku demi menghabiskan separuh cerita novel itu.

Kembali kubaca halaman demi halaman novel itu. suasana hening subuh membuat aura novel itu benar-benar mengeluarkan sisi misterinya. Bulu kudukku kadang-kadang berdiri. Namun, rasa penasaran terus menggelayuti pikirku dan mengalahkan rasa takutku.

Tak terasa hampir seluruh halaman novel itu telah kulahap. Aku membalik halaman terakhir. Tertera tulisan: diangkat dari kisah nyata. Misteri meninggalnya pria muda di jalan kemangi 23. Konon katanya pria muda ini adalah penggemar rahasia seorang perempuan yang tinggal di kawasan jalan kemangi itu. Kematiannya menjadi misterius karena tak satu orang pun tahu, bagaimana cara dia menghabisi nyawanya. Dia, kadang selalu menampakkan diri terhadap perempuan yang dia cintai itu.

Aku bergidik ngeri. Aku selalu melihat sosok pria yang tak pernah kulihat kecuali pagi hari. Mungkinkah pria itu adalah tokoh dari kisah yang kubaca ini? Adakah perempuan yang dia sukai itu aku? O tidak… Jalan kemangi 23 itu tak jauh dari rumahku. Dan memang, dua tahun lalu, sempat ditemukan sosok pria, meninggal bunuh diri di sebuah rumah kost yang tak jauh dari rumahku.

Tiba-tiba aku bergidik ngeri. Bulu kudukku berdiri sempurna. Aku melempar novel itu dan membenamkan diriku dalam selimut. Berharap hari segera pagi. (DM/HS)

-oOo-
* Tulisan kolaborasi Hadi Samsul + Deasy

Galaunya Hati Tia

13004241611479123550



Sudah 5 malam ini, Tia sendirian. Suaminya pamit lembur. Tidak biasanya. Di usia pernikahan 10 tahun yang masih sepi ini, Tia tampaknya tidak lagi bisa komplain apa-apa. Adalah hatinya yang terbeban selama ini, Tia belum mampu memberikan keturunan. Banyak hal tentang kesuburan ini, tubuh Tia adalah faktor penyebabnya. Itulah yang membuat Tia seperti pasrah jika suaminya pamit untuk lembur. Pikirannya sudah kemana-mana. Ke tempat-tempat dimana semua dugaan perselingkuhan terjadi. Ada kecemburuan namun Tia meletakannya pada tempat bernama hak. Tia seperti merasa tidak berhak lagi untuk cemburu.

Namun begitu, kadang, dengan sengaja atau tanpa sengaja, Tia selalu berusaha ingin tahu, melirik ke handphone yang dipegang suaminya. Ada harapan yang bukan harapannya, kalau-kalau sebuah sms rayu-merayu yang sengaja ataupun nyasar bisa terbaca olehnya. Mungkin, walau hatinya memanas, tapi rasa penasarannya bisa terobati, atau malah mempertajam sisi keingintahuannya? Bisa jadi.

“Sarapan dulu mas!”

“Nanti saja di kantor, aku terburu-buru.”

Sudah pagi yang kesekian, Arya selalu terburu-buru. Ada semacam kesan menghindar. Ada kesan menutup perbincangan. Kesan yang dingin. Tidak ada lagi kehangatan. Entah kemana larinya kehangatan.

“Sebentar ya, aku masih di jalan. Sabar ya sayang.”

Sebuah SMS terkirim dari handphone Arya, bukan untuk Tia. Untuk seseorang yang lain, tempat dimana kehangatan itu lari dari Tia. Berawal dari curhat iseng Arya di dunia maya yang berlanjut pada ajakan berkencan. Dan kini, ruang bayang Arya hanya dipenuhi sosok perempuan itu. Sosok Tia hanya hadir sebagai bagian dari tanggung jawab dan kewajiban saja. Tidak ada obrolan penuh bunga-bunga itu lagi, tidak ada kerling-kerling penuh arti dan kemesraan yang dulu pernah terangkai bersama. Baginya Tia hanya ada disana, sisi terluar dirinya.

“Aku masih merasa ini salah Mas.”

“Apa yang diharapkan dari sebuah pernikahan? Anak kan? Ini tentang cinta yang tidak berbuah. Dan padamu, buah itu aku harapkan. Cinta yang berbuah.”

Sang perempuan mengangguk dan begitulah sebuah obrolan bertaut menjadi hangat. Sebenarnya tidak selalu hangat, ada gangguan kehangatan itu.Tia. Arya merasakan kalau akhir-akhir ini Tia menjadi begitu penuh selidik padanya. Tapi Arya tak ambil pusing. Justru dia merasakan semuanya ini sebagai hal-hal yang menyenangkan, sembunyi-sembunyi dengan penuh debar tentu membuat adrenalinnya terpacu. Dan hal inilah yang semakin menimbulkan sensasi yang luar biasa. Rasa yang baru pernah dirasakannya lagi selama rentang masa perkawinannya. Sensasi yang terus mengalir ke ujung-ujung syarafnya dan membuatnya selalu ingin dan ingin terus bertemu, dengan perempuan itu.. Ya, perempuan itu, yang tiba-tiba muncul mengoyak kabut hatinya, menanamkan rindu dan mencipta semua gelegak rasa berbalut harapan, buah cinta.

“Aku tidak ingin berprasangka buruk pada suamiku. Aku hanya ingin percaya pada kesetiaannya. Tapi mengapa hatiku berkata lain?”

Begitu selalu hati Tia merintih, mempertanyakan segala perubahan sikap Arya. Dan Arya semakin hari semakin tak bisa menutupi perasaannya. Bagai remaja yang jatuh cinta, rasanya seperti diawang-awang.
Tapi untuk kali ini, Tia tidak bisa tinggal diam. Bukan karena cemburu yang membabi buta, tapi ada dorongan halus yang menguar, mungkin naluri kewanitaannya. Membuatnya berani untuk mengungkapkan apa yang semestinya diketahui oleh suaminya.

“Mas, nanti bisa pulang lebih awal? Ada hal penting yang mau kusampaikan. Tolong, sekali ini saja dengarkan aku.”

Sms dari Tia melupakan sebuah sms yang masuk sebelumnya. Kali ini Arya seperti tersadar akan posisinya yang masih sebagai suami Tia. Baiknya ia menuruti apa kata Tia.

“Mas, aku tiba-tiba ingin makan jambu air. Antar aku ke toko buah ya.” Kata Tia pada Arya setibanya dirumah.

“Ah, ini yang kau sebut penting itu? Kenapa nggak tunggu besok pagi. Pasar sudah tutup.”

“Mas, ini bukan sekedar rasa ingin.. tapi harus, dan harus sekarang. Kamu tau apa ini mas?”

Ditangan Tia sebuah kertas panjang kecil dengan dua garis tebal berwarna merah. Benda kecil yang mampu bercerita banyak tanpa kata.

“Lho? Lho? Kamu hamil? Kamu mengandung anakku?” Tia mengangguk.

Arya tiba-tiba melonjak kegirangan bagai anak kecil menang undian. Lengkung bibir Tia tergurat membentuk senyum kecil. Walau selintas terasa benar kalau itu adalah sebuah senyum penuh harapan. Harapan untuk memenangkan hati suaminya.

Disudut kota, seorang perempuan dan secangkir kopi panas menyatu dalam siluet senja. Si perempuan memegang handphonenya dengan harapan ada sms balasan untuknya.***


* Tulisan kolaborasi Nuraziz Widayanto + Deasy

semalam dalam cerita

***
kabarnya
semalam bulan hilang
belum sempat kutanyakan
kenapa tak menyapaku
dan kau hanya tersenyum
jemarimu menggenggam

bibirmu
menyentuh tipis telingaku
desahnya membisik
ini bulanmu. dalam genggamku

***
puisi iseng hasil sambung-menyambung.

ini harimu, Khina.....

tadi malam 
tepat ketika perguliran waktu
saat kemarin menjadi hari ini
satu kecupan kami tempatkan 
di pipi empukmu

kecupan di pipi kiri
padanya dititipkan doa-doa
yang didaraskan dalam mazmur
kidung pepujian kepadaNya
tempat segala sesuatu berawal

ada cintaNya
yang selalu menopang hitam-putih hidupnya

ada rengkuhan tanganNya
yang selalu melindungi gerak langkahnya
menepis debu kotor di tubuhnya

ada namaNya
yang selalu diingat dalam tiap denyut nadi dan helaan nafasnya

kecupan di pipi kanan
padanya dihembuskan harapan-harapan
segala hal yang menjadikan biji bertunas
pucuk semi daun menelapak
kuncup bunga wangi merekah
buah yang membulir dan matang

selamat hari lahir
putri kecilku
tumbuhlah bersama alam 
menjadi sebuah titik pelengkap lukisan semesta
tuhan memberkatimu

kecup... cup!







Tuhan, Aku Bertanya

Tuhan, mengapa kau ciptakan dahaga, kalau mendengarMu adalah kesejukan?
Tuhan tersenyum…

Tuhan, mengapa kau ciptakan lapar, kalau menyapaMu adalah kepuasan?
Tuhan tersenyum…

Tuhan, mengapa Kau ciptakan kegalauan, kalau bersamaMu adalah damai?
Tuhan tersenyum…

Tuhan, mengapa Kau ciptakan benci kalau Engkau selalu penuh cinta?
Tuhan hanya tersenyum…

Tuhan, mengapa Engkau tersenyum saat aku kehilangan segalaNya?
Anakku…  tanyalah hatimu… dia tak akan menjawab. Tapi dia akan menunjukannya.
Dan saat kau sudah mengerti semuanya, pinjamkan hatimu, untuk kupakai sebarkan cintaku.



**Kompasiana, 25 Mei 2010

Selamanya Cinta


Satu langkah terarungi bersama
Saat semu dan hakiki menjaga
Indahnya kehidupan kita
*
Tercengkeram hati ini
Namun tiada berontak
Tak terpasung jiwa
*
Terjerat rasa ini
Namun tiada teronak
Tak berbalut luka
*
Banyak kata yang ingin terucapi
tanpa satupun dapat mewakili
indahnya rasa ini
*
Hanya ungkapan bisikan abadi
yang terus mengalunkan nada hati
selamanya cinta bersemi

——

Remembering the moment on beginning our journey - (211104)
Sumber foto: www.tybinc.com
**Kompasiana, 21 Mei 2010

Berjalan Bersamanya

Kulit putihnya semakin bersinar dalam bebatan gaun pengantin putih gadingnya. Gaun dengan potongan yang sederhana itu justru terlihat mewah ditubuhnya. Bahan silk dipadu brokat yang tidak terlalu ramai, dengan sedikit berpayet, tetap berkilau indah dimataku.

Belum lagi wajah manisnya yang dipoles bedak dan blush on warna cream, eye shadow yang tidak terlalu kontras dan polesan warna peach dibibir indahnya. Terlihat sangat sempurna, bagi mataku, dan aku berharap demikian juga bagi siapa saja yang nantinya akan melihatnya.

Ah, rasanya aku sudah tidak sabar lagi menanti saat itu tiba, yang sebetulnya hanya tinggal hitungan menit saja. Saat dia akan berjalan dengan anggunnya, menuju altar kebahagian. Tempat berikrar janji sehidup semati yang pastinya saat ini telah diperindah dipenuhi dengan rangkaian mawar putih dan baby breath.

Dan kemudian, ketika momen-momen itu mengalir, sampai pada satu prosesi, dimana mempelai pria akan memberikan kecupan pertamanya pada mempelai wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu… ah .. mengapa tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa? Bukankah tadi aku begitu menanti-nantikannya? Menyaksikan kebahagiaan terpancar dari binar cantik matanya adalah impian terbesarku..

Bibirku bergetar. Bagaimana bisa aku mengabaikan semua perasaanku ini? Hatiku sedikit menjerit, pertanda aku belum bisa berdamai dengan kenyataan. Mungkin hanya perlu keikhlasan yang lebih dari sekedar ingin membahagiakan dirinya. Aku mencintainya. Aku mencintainya dan ingin membahagiakannya.

Waktunya sudah tiba, sosok anggunnya melangkah menuju altar didampingi sang ayah.

Today, I will walk with my hands in God….

Today, I will trust in Him and not be afraid…

Sayup-sayup kudengar lagu pengiring itu. Seketika kehangatan menjalari sendir-sendiku, hatiku diliputi rasa damai. Rasa yang kemudian membuat hatiku yang kecil ini serasa menjadi ringan dan lapang. Sebegitu lapangya sehingga membuat diriku terasa bebas merdeka. Sedemikian ringannya serasa diri ini siap terbang lepas. Senyumku memancar begitu tulus, aku merelakannya, aku merelakannya, memasuki gerbang cinta ini, bersamanya, pria berjas hitam itu, yang sejak tadi sudah menantikanmu dengan tidak sabar.

Selamat tinggal cintaku. Aku tak memerlukan lagi cintamu, karena cintaNya telah memanggilku. Sekarang aku siap berjalan bersamaNya, berpegangan pada tanganNya yang kokoh. Doakan kedamaian untukku.

**Kompasiana, 14 Februari 2011

Kepada Ytk: Ibu

Bu, aku tidak pernah mengenalmu.

Walau aku mengerti betul bentuk wajahmu, cantik auramu, dan ikal rambutmu, tapi aku tidak tahu sabun apa yang kau pakai untuk mandi, apakah shampoo kita sama, dan apa warna kesukaanmu.

Yang aku tahu dari cerita ayah, kau memang cantik, teramat sangat cantik, sehingga ayah selalu cemburu padamu. Maaf Bu, aku belum sempat menanyakannya padamu tentang hal-hal kecil itu.

Kau juga tidak pernah dengar ceritaku Bu, bagaimana aku menghadapi haid pertamaku. Yang membuat jantungku berdebar karena takut. Takut yang belum tahu sebabnya. Ya, aku belum pernah mendapat penjelasan apa-apa tentang hal ini.

Mestinya akupun curhat padamu, saat pertama kalinya aku merasa kebingungan yang tiba-tiba. Tiba-tiba saja ingin bertemu dengan seseorang yang membuatku berdebar-debar, perut mulas, dan berkeringat dingin. Ingin rasanya aku mengeluarkan perasaanku dengan bercerita denganmu. Namun itu tidak pernah kulakukan.

Sepertinya adalah hal yang membahagiakan, melompat bersama saat aku dinyatakan lulus sebagai sarjana. Tapi yang terjadi, aku hanya diam menunduk. Mengingatmu.

Aku juga merasa bersalah, belum pernah membelikanmu barang yang kau inginkan, saat aku menerima gaji pertamaku. Menraktirmu makan malam, makanan kesukaanmu, yang aku sendiri tak pernah tahu. Bahkan, belanja bersamapun tidak pernah aku alami sensasinya.

Teringat Nasehat Ibu

“Bu, nanti aku dibelikan baju princess warna putih ya, biar aku secantik Cinderella.”

“Iya sayang, Tapi jangan nakal ya, khan kalau kamu tidak nakal, walau tanpa baju princess pun, kamu akan kelihatan cantik.”

“Bu, jangan lupa sepatu kaca ya. Biar aku semakin anggun”

“Asal kau rajin berbagi, sebab dengan begitu, tanpa sepatu kacapun kau terlihat anggun”

“Ada lagi Bu, aku mau dibelikan buku yang banyak. Biar aku semakin pintar.”

“Maka rajinlah mempelajari dan memahami, tentu kau akan pintar.”

Nina mengembalikan boneka-boneka ke kotaknya. Ayahnya terharu, menyaksikan dari balik pintu, memegang sepucuk surat lusuh tertanda mendiang istrinya.***


**Kompasiana, 20 Desember 2010

Gara-Gara Bola: Komentator Rumpi

“Wah, memang si Irfan hebat ya. Diusia yang masih muda sudah bermain dengan gemilang. Padahal ya, dia itu dulu pernah luntang-lantung lho, ditolak dari kesebelasan ini dan itu. Eh, sekarang malah jadi bintang.”

“Jangan salah, si Gonzales juga nggak kalah hebat loh. Dua kali malah dia membawa kemenangan timnas. Iya nggak? Dua kali lawan Filipina, ya si Gonzales itu yang buat gol. Pokoknya favoritku ya si Gonzales.”

“BePe tuh ya, walau sudah nggak sekenes dulu, tapi masih tangguh lo. Ya, mungkin karena faktor usia saja sih dia agak melorot. Memang sekarang jamannya si Irfan sama Gonzales.”

“Aduuuuh… kalo sayamah, teuteup Kang Maman atuhlah si jagoan. Gak ada yang ngalahin pokonamah”

Seorang bapak celingak-celinguk sambil membuka tudung saji tanpa isi di rumahnya yang sepi.

**Kompasiana, 20 Desember 2010

Waktu Kerja

06.00

Hmmm .. hari baru diminggu yang kesekian… Aaah… bersiap-siap merapikan diri. Mandi dan keramas bisa membuat badanku segar menghadapi kesibukan berat hari ini.

Err… rasanya kumis dan cambangku terlalu cepat bertumbuh. Baru kemarin kucukur, hari ini sudah terlihat membiru. Yap.. cukur kumis dan cambang, biar terlihat semakin muda dan klimis.

Istriku memang hebat, dia selalu menyiapkan setelan paling cocok untuk setiap harinya. Sesuai dengan irama mood dan kesibukan hari demi hari. Seperti pagi ini, dia menyiapkan kemeja wana maroon, dengan dasi salur warna maroon dan biru dongker. Terlihat semakin gagah dan berwibawanya diriku.

Tuan Dan Nyonya

“Ma, Papa pulang agak malam. Ada meeting dengan buyer. Papa belum bisa antar Mama ke dokter sekarang.” SMS dari tuan besar untuk nyonya.

“Ya sudah Pa, Mama ke dokter sendiri, biar dianter si Bardi.” Balasan SMS nyonya.

“Min, suruh si Bardi siap-siap. Saya mau ke dokter sekarang.” Teriakan nyonya mengagetkanku yang sedang merapikan tempat tidur besarnya.

Aku berlari menuju ruang belakang.
“Kang, nyonya mau ke dokter. Akang diminta antar dia.”

Bardi mengangguk sambil matanya menatapku tajam. Aku begitu merindukannya, menantikannya mengucapkan kata-kata itu.

Duh, Kang.. kapan kita menikah? Sudah 2 tahun kita pacaran. Sejak aku jadi pelayan di rumah mewah ini, dan kamu jadi sopir tuan dan nyonya.

***

“Min, nyonya sudah berangkat?” Tiba-tiba tuan besar muncul dihadapanku.
“Baru saja berangkat.” Jawabku yang langsung disambut dengan pelukan eratnya. Wajahku dihujani dengan kecupan mesranya. Sedetik kemudian kamipun bergumul dalam gelora membara.

***

“Bardi, hilangkan segala kegusaranmu itu. Biarkan mereka mereguk madu manis itu. Kita juga sedang menikmatinya bukan?” Kepala nyonya disandarkan ke dada Bardi, sambil tangannya mengelus perutnya yang membuncit.

___

Repost dari Ubud Writers Festival, dalam rangka meramaikan FF di Rangkat

**Kompasiana, 8 Desember 2010

Lelaki Itu

Kulit kusamnya berpeluh dan berdebu. Tubuh kekarnya berbalut kaus oblong putih yang sudah menjadi krem. Dari ujung gang dia berjalan cepat, masuk ke sebuah rumah kecil di seberang jalan ini. Wajahnya memang asing. Tapi aku tahu siapa dia. Seorang yang sedang dikontrak sebagai borongan pada salah satu perumahan baru. Hanya tinggal sendirian saja di rumahnya yang kecil dan kumuh itu.

Bukan itu saja, aku juga mengetahui setiap detil perjalanan hidupnya. Tentu informasi yang terbukti kebenarannya, dan kudapat dari seseorang yang benar-benar terpecaya.

Ya, lelaki itu pada masa mudanya adalah seorang yang gagah rupawan. Ini yang tak terekam pada jejak dan raut mukanya kini. Begitulah, dia menjadi seorang yang digilai banyak wanita. Namun hatinya hanya tertuju pada seorang kembang desa, Maryamah.

Ada cinta tumbuh dihati mereka, mendalam. Namun menjadi terlarang karena tidak disetujui orang tua Maryama. Mereka sudah mempunyai calon untuk menjadi suami Maryamah.

Atas dasar cinta yang kuat dan berjanji sehidup semati, mereka menjadikan hubungan ini terlarang. Maryamah mengandung. Seiring dengan membuncitnya perut, si lelaki itu tiba-tiba menghilang. Lenyap ditelan senyap. Maryamah sedih, hampir saja bunuh diri. Orang tuanya dengan memaksa menikahkan Maryamah dengan lelaki pilihan mereka.

Bisa dibayangkan rumah tangga seperti apa yang dijalani Maryamah. Sang suami ternyata berperangai kasar, apalagi merasa diatas angin.

Kekerasan mewarnai kehidupan mereka. Sampai puncaknya, Maryamah harus menghadap Sang Pencipta, disaat putri mereka berumur 5 tahun. Sang suami pun ditahan.

Hff…. Aku menghela nafas. Membayangkan kisah hidup yang suram ini. Apakah lelaki itu pernah mencari tahu kabar Maryamah? Aku mengetahuinya.Apa mungkin perlu kuberitahu?

Aku masih duduk di bangku kayu warung sederhana ini. Dari dalamnya bisa kulihat rumah lelaki itu, persis di seberang jalan. Ingin sekali kudatangi rumah itu, mengeuk pintunya dan mengatakan

“Ini aku, Ratri, putri tunggal Maryamah, kekasih yang kau campakkan.. Pak!”

Dengan berat kulangkahkan kakiku… kemana? Aku sendiri tak tahu arah mana yang akan kutuju.

**Kompasiana, 3 Desember 2010

Tentang Rasa Ini

Melihat mereka berduaan selalu membuatku muak. Seperti tidak ada hal penting lain yang bisa mereka lakukan selain bermesra-mesraan. Ya, pasangan paling romantis itu, menurut orang lain sih, kerap datang di taman ini, seperti membuntutiku.

Aku sudah berusaha mencari tempat yang paling damai, di sebuah bangku tua dekat pohon besar, dekat sebuah sumur tua. Bagi kebanyakan orang, tempat ini begitu suram, gelap. Tapi buatku paling indah, apalagi untuk menyembunyikan diri dari lirikan atau tatapan aneh yang seperti menghujam ke ulu hatiku..

Tapi, kenapa mereka seperti tidak tahu, kalau itu singgasanaku? Mereka menempati bangku yang bersisian dengan bangku yang kutempati untuk membaca dan menghabiskan waktu.

Selalu begitu keadaanya, dan selalu aku yang terpojok. Tidak mungkin aku mencari tempat lain. Dan dengan terpaksa tentunya aku menyaksikan drama percintaan ini setiap saat. Huh, sial!

Suara manja yang mendayu-dayu bersahutan suara bariton, menusuk-nusuk ditelingaku. Entah mereka membicarakan apa saja. Aku seperti tidak mengerti bahasa mereka. Yang kuinginkan sebenarnya hanyalah tidak ingin mendengar apa-apa. Tapi telingaku belum tuli. Huh!

Dia

Dia ada dihadapanku. Tertawa menyeringai. Tapi aku sungguh tidak mengerti apa yang lucu baginya.

“Ada apa kamu tertawa? “

Dia tidak menjawab. Hanya tertawa.

Aku heran. Padahal setahuku dia baru saja terkena masalah, lebih tepatnya musibah.

“Apakah ada yang lucu?”

Dia semakin terbahak dengan tawanya.

Aku geram. Kenapa dia bisa begitu gembira, sedangkan suami dan anaknya sekarang entah dimana?

Aku sangat tahu. Dulu dia hidup berbahagia. Bergelimang dengan harta dan kasih sayang suaminya. Anak lelaki tunggalnya pun sudah berhasil menjadi sarjana. Namun bahagianya bersanding tipis dengan kekacauan rumah tangganya.

Kejadian seminggu yang lalu telah membuktikan bahwa cinta dan kesetiaannya sia-sia. Dengan dalih tidak ada kecocokan lagi, suaminya berhasil memasukkan orang ketiga dalam kehidupannya. Menjadi semakin parah manakala si orang ketiga adalah mantan kekasih putra tunggalnya.

Para lelaki tersebut bersitegang. Amarah dan benci menjadi letupan dahsyat perseteruan mereka. Dan setanpun tertawa menyaksikannya manakala si orang ketiga melepas ajal ditangan sang mantan.

Dia dihadapanku. Tertawa semakin terbahak.

“Hei, putramu dibui kau malah tertawa. Suamimu menghilang ditelan senyap kau malah bahagia.” Aku menghardiknya.

Dia tertawa keras, sampai-sampai air matanya mengalir. Aku tersinggung, seakan-akan aku melakukan hal yang konyol dan menggelikannya. Namun semakin aku mengingatkannya, semakin keras tawanya.

Kegeramanku memuncak. Pandanganku gelap. Dalam meraba, hanya sepatuku yang teraih.

“Prang……!”

Serpihan cermin berhamburan. Dihadapanku hanya tembok putih kusam yang menertawaiku.

**Kompasiana, 1 Oktober 2010

Senyummu Merontokkan Jantungku

Kulit mulus tanpa jerawat. Tak berbulu tak berkumis, bersih. Rahang kokoh menopang wajah manis bermata teduh. Postur yang tinggi dan tegap. Dari wajah sampai bodi sebelas duabelas dengan Lee Min Hoo, tahukan siapa dia….

Sedikit grogi saat matanya bertumbukan dengan mataku. Hmm, kopiku terasa pahit, entah kurang gula, entah rasaku sudah tak karuan karena sosok diseberang mejaku ini. Semilir AC di café ini sudah tak terasa, berganti hawa gerah.

Duh… semakin grogi diriku, saat senyumnya yang menawan mampir menghampiri pandanganku. Mataku menyapu seluruh ruang. Tapi sepertinya hanya aku satu-satunya wanita muda dan sendiri. Di pojok kiri ada sepasang manula yang tetap eksis memperlihatkan kemesraannya. Di sebelah kanan mejaku duduk 2 pasang pengusaha paruh baya sedang berbisnis.

Kali ini dia mengerlingkan matanya. Ampun deh.. kenapa jantungku mendadak dag dig dug serrr?

Kusibakkan rambutku dengan gaya anggun, agar terlihat seksi. Tanganku tak henti-hentinya memencet-mencet handphone yang sudah off sejak tadi karena low bat. Hanya mencari kesibukan untuk menghilangkan grogi yang semakin menjadi.

Tiba-tiba lelaki itu berdiri, berjalan kearahku. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya.


Jantungku berdegup kencang… oh toloooong, kenapa aku seperti kehabisan nafas?

Hampir sampai, jarak setengah meter didepanku, aku menutup mata… dag dig dug semakin kencang.

Seperti ini lho senyum mautnya :-D

Oh.. dia melewatiku. Menghampiri lelaki brewok dibelakangku, saling berciuman pipi.

Jantungku rontok….. hatiku luluh lantak, tercecer dilantai café yang dingin.

**Kompasiana, 28 Juli 2010

Menuju Senja

Mata bening itu menitikkan bulir indahnya. Dalam balutan gaun putih panjangnya, dia memandangku. Bibirnya bergerak-gerak namun tak terdengar sesuatu olehku.

“Putriku, kau ingin bicara apa sayang?”

Dia bagaikan putri yang dikelilingi awan yang empuk dan halus. Tangannya melambai kepadaku. Matanya menatapku. Kosong.

“Kau mau kemana putriku? Ibu tidak ingin kehilanganmu!” Aku menjerit.

Sesosok putih bersinar melayang, berdiri ditengah kami. Memandangi kami berdua silih berganti. Lalu ia mengepakkan sayapnya dan menggamitku. Aku ringan dan terbang bersamanya.

Langit menjadi senja. Seorang gadis kecil dalam pangkuan ayahnya keluar dari kompleks pemakaman.

**Kompasiana, 27 Juli 2010

Bahagia Dalam Damai

Sekarang waktu kita untuk berdampingan

Saling berpegangan melawan rasa

Memohon pada sang detak

Sejenak membiarkan detiknya

Terpasung dalam bahagia abadi

Karena … sesaat lagi

Waktumu bukan milikku lagi






Dalam hatimu yang beku

Kutitipkan setitik kehangatan cintaku

Yang akan selalu menemanimu

mengembara menghadap Sang Khalik







Selamat mengarungi ruang kehidupan baru

Kan kuluangkan segenggam rindu

Diujung biru hatiku

Yang akan selalu tertutup rapat

Karena kau saja

Yang dapat membukanya





———————-

* Untuk seorang sahabat (maaf kalo puisinya masih jelek)

** Terinspirasi dari kisah sedih di Cina, Zhuang Huagui (26 tahun) yang berencana menikah pada tanggal 4 Februari 2010. Tetapi pada tanggal 28 Januari 2010, calon istrinya, Hu Zhao’e meninggal karena ditusuk oleh perampok dirumahnya. Zhuang memutuskan untuk tetap mengadakan upacara pernikahan, yang dilanjutkan dengan upacara pemakaman bagi istrinya, Hu Zhao’e.

*** Foto-foto dari milis

Tahukah Kau?

Tahukah kau,

Bulan dan Bintang ditakdirkan untuk bersama

Dan Matahari adalah kawan seperjuangan dalam masa yang berbeda

Seperti juga halnya,

Bunga dan kupu-kupu bersejoli

dalam naungan Pohon yang rindang

namun tak pernah mereguk manisnya madu.

*
Tahukah kau,

Hujan dan Pelangi adalah kesedihan dalam harapan

sesekali petir menerangi dan guruh memekakan

namun semuanya mendendangkan irama harmoni

*
Tahukah kau,

itulah cintaku padanya

yang terlindung dalam damaimu


**Kompasiana, 25 Februari 2010

[Proyek 50K] bagian ke - 3

Hari ini hari Jumat, seperti biasanya aku harus menyelesaikan segala pekerjaanku, berharap agar saat weekend aku tidak mempunyai tanggungan pekerjaan. Sebisa mungkin aku meluangkan waktu untuk bersantai sejenak dari tumpukan pekerjaan yang semakin menggunug. Selain itu, aku berusaha menepati janjiku padanya, untuk menyediakan waktu di malam minggu berkencan dengannya. Ini semua adalah usahaku agar terhindar dari serangan omelan dan muka kecutnya. Walau terkadang kusadari aku begitu menikmati melihatnya wajahnya yang ditekuk, dengan senyum masamnya, serta cerocosan dan omelannya. Bagiku dia terlihat semakin cantik dengan semua itu.


Aku teringat saat pertama kali kami berkenalan. Saat itu dia masih mahasiswa baru dikampus kami. Aku sebagai salah satu senior yang bertugas menggojlok para yunior. Karena suatu hal, dia harus dihukum oleh seorang seniornya. Dan hukumannya adalah merayuku dengan sepenuh hati, sambil menyanyi. Dengan muka kupasang tegang dan sadis, aku menatapnya saat merayu sambil menyanyi. Suaranya bergetar ketakutan, sangat lirih. Aku membentaknya, memintanya menyanyi dengan suara lebih keras lagi. Dia kaget dan tiba-tiba terisak menangis. Aku kaget bukan main. Kebingungan menghadapi seorang wanita menangis didepanku, aku akhirnya melarikan diri dari hadapannya, dengan tanpa bisa berbuat apa-apa.

[proyek 50K] bagian ke - 2

Ketika sapa menjadi canda,
ketika canda mengawali harap,
hadirlah rasa.

Ketika asa datang
dan rasa menggamitnya
apakah yang bisa ditolak
selain hadirnya cinta?




Sudah berminggu-minggu aku menunggu jawaban email darinya. Sedikit heran, kenapa bisa ada orang yang lupa menyimpan file-file sedemikian penting? Aku mungkin bukan hanya heran, tapi merasa jengkel juga. Rasa penasaranku harus tertahan tak terpuaskan hanya karena dia lalai. Entahlah, tiba-tiba aku merasa uring-uringan sendiri. Tapi dipikir-pikir lucu juga diriku ini, buat apa aku jengkel begini.

Belum berjudul [Proyek 50K] bagian ke - 1

Cinta memang misterius dari mana hadir dan kemana arahnya tidak ada yang bisa menebak. Cinta juga mudah menular, seperti virus flu yang mudah menghinggapi siapa saja. Tidak peduli kaya miskin, jabatan tinggi atau rendah, sedang sibuk atau banyak bengong. Siapa saja bisa terkena virus ini.

Seperti diriku ini, mungkin, sudah tertular virusnya atau masih dalam taraf inkubasi. Entahlah, yang jelas sekarang aku sendiri sedang bingung menghadapi situasi hatiku yang sebenarnya. Kebingungan yang membuat perutku mendadak mulas kalau ingat satu nama itu. Nama penyebar virus cinta ini, kalau boleh dikatakan begitu.

Dia Yang Tak Pernah Kukenal


Aku baru saja menapakkan kakiku, kembali kekota itu. Sudah berapa lama aku tidak pernah mengunjunginya. Dan kini, diantara kesibukanku, aku memaksakan diri untuk sekedar mencari kabar dan bercakap-cakap walau hanya dalam hitungan menit.

Aku tak tahu apakah dia masih mengenaliku. Mungkin sudah banyak perubahan pada penampilanku. Jauh berbeda dengan saat aku pertama mengunjunginya.

***

Di pasar Beringharjo yang ramai, walau waktu masih menunjukkan pukul 3 dini hari, delapan belas tahun yang lalu. Aku bersama seorang teman berkeliling mengitari pasar. Niat kami mencari informasi yang dibutuhkan untuk tugas lapangan. Saat itu kami sedang mengikuti pelatihan jurnalistik..

Entah apa yang akan kami cari sebagai bahan tulisan kami. Kami hanya memandangi para wanita-wanita perkasa, yang bertugas sebagai kuli angkut dan bongkar muat pasar.

Tiba-tiba aku sadar telah terpisah dari temanku. Aku yang seorang pendatang, dengan keterbatasan bahasa, hanya bisa bingung kesana-kemari. Seorang diri diantara orang-orang yang tak kukenali hamper membuatku putus asa. Sanpai-sampai ada orang iseng yang “menawarku” segala. Wajarlah, gadis keliaran malam-malam disangka menjajakan diri. Untunglah ada seorang wanita tua penjaja gula merah yang sejak tadi memperhatikanku. Dia mengatakan kepada orang iseng tersebut kalau aku itu cucunya. Orang tersebutpun pergi sambil bergumam tak jelas.

Wanita tua itu menanyakan keadaanku dalam bahasanya yang khas. Aku terbata-bata menjawabnya.

Aku duduk sambil nyeruput teh yang ditawarkan padaku, memperhatikan wanita tua itu berjualan. Saat itu sudah pukul 5 pagi. Semakin banyak orang berbelanja, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk warung atau usaha lainnya. Lama-lama, aku tidak bisa berdiam diri, sambil sesekali berbincang dan bercanda, walau dengan dialek yang berbeda, aku ikut membantunya, menimbang dan membungkuskan gula merah untuk para pembeli yang semakin banyak.

Tanpa terasa aku merasa begitu dekat dengan sosoknya, dibalik kesederhanaannya ada kesahajaan yang memancar. Terasa hangat olehku. Seakan aku sudah mengenalnya sebelum ini.

Tiba-tiba aku melihat temanku berjalan diantara orang-orang yang lalu lalang. Saat itu waktu menunjukkan pukul 7 pagi. (Wah ternyata, aku belum mandi… ). Akupun berlari menghampiri temanku. Kemudian kami berpamitan. Wanita itu tersenyum menyalami aku dan memelukku lama sekali. Sempat kaget karena tidak terpikir akan sedemikian sambutannya.

***

Di lorong pasar Beringharjo yang kini tampak lebih modern, aku mencari-cari diantara kios-kios yang ada. Bertanya kesana kemari akhirnya aku mendapatkan jawaban.

Wanita tua itu sudah lama tidak berjualan di pasar. Dari cerita yang simpang siur aku mendapat kesimpulan, sehari setelah bertemu denganku, putri satu-satunya tewas tertabrak truk pengangkut saat akan membantu berjualan. Sejak saat itu dia sakit jiwa, setiap hari kerjanya berkeliling pasar. Hanya berjalan.

Aku berniat pulang saat kami saling berhadapan. Pakaiannya kumal, tubuhnya bungkuk dan renta. Rambutnya gimbal. Dia sama sekali tak peduli dengan sekelilingnya. Dan akupun hanya memandangnya.

Dalam gelisah malam, kulihat sekelebat sinar dari matanya. Entah memancarkan kekecewaan atau kesedihan. Yang kutahu dari sosoknya, dengan badan membungkuk, dia melangkah terseok. Berjalan menuju samar cahaya diujung pasar.

—————–

* Hanya sempat tuk diingat

*diposting di Kompasiana, 10 Februari 2010

Kita Butuh Orang Lain


“Ibu, ini kenapa siiih… Khina kok gak bisa salaman sendiliiiii?” Putri kecilku ngambek sambil mau menangis.

“Aduh, Khina kenapa sih pake teriak-teriak?” Aku sedikit agak sewot juga menjawabnya. Hmmm pagi-pagi sudah ribut, mana waktu mepet dan semua serba tergesa-gesa untuk bersiap menuju aktifitas masing-masing.

Suamiku yang sedang sibuk mengurusi keperluannya untuk dibawa ke kantor langsung mendekati putri kami. “Khina kenapa” Kok tangannya dipegangi terus? Sakit?”

“Ini nih… kenapa sih tangannya Khina gak bisa salaman sendiliiiiii” Oh, ternyata dia melihat orang sedang salaman di TV yang sudah on sejak pagi.

Antara jengkel tapi juga geli, aku mendekatinya. Sambil menghirup nafas panjang (untuk meredakan emosi nih) aku duduk disampingnya. “Khina, coba salaman sama Ibu, bisa enggak?” Aku menyodorkan tangan kananku padanya. “Hihihi bisa Ibu, Khina bisa salaman!” Teriaknya kegirangan.

“Nah, itu artinya kita semua butuh orang lain, sampai salamanpun juga butuh orang lain. Gitu kan sayang?” Putriku mengangguk-angguk sambil tersenyum senang.

“Terima kasih sayang, Ibu sayang Khina!” Aku tersenyum juga.

“Khina sayang Ibu, sayang Ayah” Sahutnya sambil kembali berlari-lari dan membuat gaduh.

Pelajaran kecil di pagi hari. Buat putriku dan buatku juga. Bahwa kita hidup tidak lepas dari dukungan, bantuan dan eksistensi orang lain.

Sama seperti di Rumah Sehat Kompasiana ini, saya, anda, kita semua, butuh bantuan orang lain untuk saling membantu, mensupport satu sama lain untuk maju bersama-sama.

*Diposting di Kompasiana, 15 Januari 2010

Sang Lelaki Tangguh

Menangis …. hanya memeluk bundanya

Tertawa …. hanya berbagi dengan bundanya

Belajar …. hanya dari mulut bundanya

Tidur …. Hanya dalam dekapan bundanya

..Ayah..

Maaf, kata bundanya, tidak ada ayah untukmu, tapi bunda sanggup buatmu kelak menjadi lelaki tangguh.

Namun untuk saat ini, bundalah lelaki tangguhmu.

Bunda akan ajarkan bagaimana menangis dalam kesepian, saat kau pertama kali bersapa dengan dunia ini. Tanpa siapapun wahai sang pemberi semangat, agar kau menjadi lelaki yang kuat.

Bunda akan ajarkan bagaimana tertawa dalam ketawaran hati, saat kecemasan berpihak dan hanya sepi yang menggigit, agar kau tak pernah merasa sepi sendiri.

Bunda akan ajarkan padamu bahwa dunia tempat segalanya, namun surgalah semuanya tertuju, agar kau menjadi lelaki bermoral penuh hati nurani.

Bunda akan mendekapmu tidur sampai kau selalu merasa aman, agar kau menjadi lelaki penyayang yang selalu melindungi yang lemah.

Namun sekali lagi, tidak ada kata ayah untukmu, biarlah bunda saja yang menjadi lelaki tangguhmu. Agar kau mengerti bagaimana menjadi kuat dalam kelembutan.

~ dedicated to my lovely sister, thanks for the inspiration~

Suatu Waktu di Perempatan


Sudah berulang kali aku melihatnya, berdiri di pinggir jalan perempatan lampu lalin sambil berteriak-teriak tak jelas. Pakaian kumal dan topi coklat buluknya yang entah dulunya berwarna apa, tidak pernah lepas dari kesehariannya. Dengan tangan teracung ia mendekati satu persatu pengendara motor atau mobil diperhentian lampu merah sambil berteriak kacau “hatush!…. hatush!…”

Sudah berulang kali pula aku selalu menghindar dari colekannya. Bila lampu merah sempat memberhentikanku di perempatan itu, aku berusaha mengarahkan sepeda motorku ditengah2 pengendara yang lain agar sulit dijangkau olehnya. Entah kenapa, ada perasaan sebal dicolek-colek olehnya. Yang kutahu, bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu. Makanya, ketika lampu merah berganti hijau, serentak semua melarikan diri.

Namun kali ini ada yang lain setiap kali aku melewati perempatan tersebut. Teriakan tak jelasnya tak terdengar, tangan teracungnya tidak terlihat dari kejauhan. Ada perasaan lega untukku saat harus dihentikan lampu merah.

Dua kali, tiga kali, terus berulang dan selalu seperti itu. Sampai suatu saat aku terhenti diperempatan itu, kudengar percakapan para pengamen pinggir jalan yang juga sering mangkal ditempat itu. Ternyata mereka sedang membicarakan si kumal tersebut.Saat ini ia tengah sakit parah. Hujan panas yang selama ini menemaninya menyebabkan fisiknya kian memburuk. Dan dengan kondisi mental yang terbelakang, ditambah keadaan ekonominya yang buruk tidak memungkinkan untuknya berobat.

Tiba-tiba saja ada perasaan iba meruak dalam hatiku. Setiap hari dia harus berdiri dipinggir jalan hanya memohon belas kasihan, meminta-minta uang seratus rupiah. Tapi mengapa aku merasa rugi kehilangan seratus rupiah dengan menghindarinya. Aku terus memikirkannya. Dan setiap kali melewati perempatan itu, aku menebarkan pandangan, berusaha mencari dan berharap melihatnya berdiri di pinggir jalan. Namun sosok kumal itu tidak pernah terlihat.

—————————————–

Sudah berulang kali aku melewat perempatan itu. Dan sudah berulang kali pula aku berharap melihatnya berdiri disana. Mengacungkan tangannya dan berteriak-teriak tak jelas. Tapi tidak berharap untuk dicolek-colek olehnya, hanya ingin tahu keadaannya saja.

Namun kali ini ada yang lain saat aku melewati perempatan tersebut. Si kumal itu berdiri disana, dengan pakaian kumalnya dan topi coklat buluknya. Dengan tangannya yang teracung mendekati satu persatu pengendara sambil berteriak kacau “mahatush! ….mahatush!”

Olala… sudah naik jadi limaratus rupiah.