Dia

Dia ada dihadapanku. Tertawa menyeringai. Tapi aku sungguh tidak mengerti apa yang lucu baginya.

“Ada apa kamu tertawa? “

Dia tidak menjawab. Hanya tertawa.

Aku heran. Padahal setahuku dia baru saja terkena masalah, lebih tepatnya musibah.

“Apakah ada yang lucu?”

Dia semakin terbahak dengan tawanya.

Aku geram. Kenapa dia bisa begitu gembira, sedangkan suami dan anaknya sekarang entah dimana?

Aku sangat tahu. Dulu dia hidup berbahagia. Bergelimang dengan harta dan kasih sayang suaminya. Anak lelaki tunggalnya pun sudah berhasil menjadi sarjana. Namun bahagianya bersanding tipis dengan kekacauan rumah tangganya.

Kejadian seminggu yang lalu telah membuktikan bahwa cinta dan kesetiaannya sia-sia. Dengan dalih tidak ada kecocokan lagi, suaminya berhasil memasukkan orang ketiga dalam kehidupannya. Menjadi semakin parah manakala si orang ketiga adalah mantan kekasih putra tunggalnya.

Para lelaki tersebut bersitegang. Amarah dan benci menjadi letupan dahsyat perseteruan mereka. Dan setanpun tertawa menyaksikannya manakala si orang ketiga melepas ajal ditangan sang mantan.

Dia dihadapanku. Tertawa semakin terbahak.

“Hei, putramu dibui kau malah tertawa. Suamimu menghilang ditelan senyap kau malah bahagia.” Aku menghardiknya.

Dia tertawa keras, sampai-sampai air matanya mengalir. Aku tersinggung, seakan-akan aku melakukan hal yang konyol dan menggelikannya. Namun semakin aku mengingatkannya, semakin keras tawanya.

Kegeramanku memuncak. Pandanganku gelap. Dalam meraba, hanya sepatuku yang teraih.

“Prang……!”

Serpihan cermin berhamburan. Dihadapanku hanya tembok putih kusam yang menertawaiku.

**Kompasiana, 1 Oktober 2010

0 komentar: