Tuhan, Aku Bertanya

Tuhan, mengapa kau ciptakan dahaga, kalau mendengarMu adalah kesejukan?
Tuhan tersenyum…

Tuhan, mengapa kau ciptakan lapar, kalau menyapaMu adalah kepuasan?
Tuhan tersenyum…

Tuhan, mengapa Kau ciptakan kegalauan, kalau bersamaMu adalah damai?
Tuhan tersenyum…

Tuhan, mengapa Kau ciptakan benci kalau Engkau selalu penuh cinta?
Tuhan hanya tersenyum…

Tuhan, mengapa Engkau tersenyum saat aku kehilangan segalaNya?
Anakku…  tanyalah hatimu… dia tak akan menjawab. Tapi dia akan menunjukannya.
Dan saat kau sudah mengerti semuanya, pinjamkan hatimu, untuk kupakai sebarkan cintaku.



**Kompasiana, 25 Mei 2010

Selamanya Cinta


Satu langkah terarungi bersama
Saat semu dan hakiki menjaga
Indahnya kehidupan kita
*
Tercengkeram hati ini
Namun tiada berontak
Tak terpasung jiwa
*
Terjerat rasa ini
Namun tiada teronak
Tak berbalut luka
*
Banyak kata yang ingin terucapi
tanpa satupun dapat mewakili
indahnya rasa ini
*
Hanya ungkapan bisikan abadi
yang terus mengalunkan nada hati
selamanya cinta bersemi

——

Remembering the moment on beginning our journey - (211104)
Sumber foto: www.tybinc.com
**Kompasiana, 21 Mei 2010

Berjalan Bersamanya

Kulit putihnya semakin bersinar dalam bebatan gaun pengantin putih gadingnya. Gaun dengan potongan yang sederhana itu justru terlihat mewah ditubuhnya. Bahan silk dipadu brokat yang tidak terlalu ramai, dengan sedikit berpayet, tetap berkilau indah dimataku.

Belum lagi wajah manisnya yang dipoles bedak dan blush on warna cream, eye shadow yang tidak terlalu kontras dan polesan warna peach dibibir indahnya. Terlihat sangat sempurna, bagi mataku, dan aku berharap demikian juga bagi siapa saja yang nantinya akan melihatnya.

Ah, rasanya aku sudah tidak sabar lagi menanti saat itu tiba, yang sebetulnya hanya tinggal hitungan menit saja. Saat dia akan berjalan dengan anggunnya, menuju altar kebahagian. Tempat berikrar janji sehidup semati yang pastinya saat ini telah diperindah dipenuhi dengan rangkaian mawar putih dan baby breath.

Dan kemudian, ketika momen-momen itu mengalir, sampai pada satu prosesi, dimana mempelai pria akan memberikan kecupan pertamanya pada mempelai wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu… ah .. mengapa tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa? Bukankah tadi aku begitu menanti-nantikannya? Menyaksikan kebahagiaan terpancar dari binar cantik matanya adalah impian terbesarku..

Bibirku bergetar. Bagaimana bisa aku mengabaikan semua perasaanku ini? Hatiku sedikit menjerit, pertanda aku belum bisa berdamai dengan kenyataan. Mungkin hanya perlu keikhlasan yang lebih dari sekedar ingin membahagiakan dirinya. Aku mencintainya. Aku mencintainya dan ingin membahagiakannya.

Waktunya sudah tiba, sosok anggunnya melangkah menuju altar didampingi sang ayah.

Today, I will walk with my hands in God….

Today, I will trust in Him and not be afraid…

Sayup-sayup kudengar lagu pengiring itu. Seketika kehangatan menjalari sendir-sendiku, hatiku diliputi rasa damai. Rasa yang kemudian membuat hatiku yang kecil ini serasa menjadi ringan dan lapang. Sebegitu lapangya sehingga membuat diriku terasa bebas merdeka. Sedemikian ringannya serasa diri ini siap terbang lepas. Senyumku memancar begitu tulus, aku merelakannya, aku merelakannya, memasuki gerbang cinta ini, bersamanya, pria berjas hitam itu, yang sejak tadi sudah menantikanmu dengan tidak sabar.

Selamat tinggal cintaku. Aku tak memerlukan lagi cintamu, karena cintaNya telah memanggilku. Sekarang aku siap berjalan bersamaNya, berpegangan pada tanganNya yang kokoh. Doakan kedamaian untukku.

**Kompasiana, 14 Februari 2011

Kepada Ytk: Ibu

Bu, aku tidak pernah mengenalmu.

Walau aku mengerti betul bentuk wajahmu, cantik auramu, dan ikal rambutmu, tapi aku tidak tahu sabun apa yang kau pakai untuk mandi, apakah shampoo kita sama, dan apa warna kesukaanmu.

Yang aku tahu dari cerita ayah, kau memang cantik, teramat sangat cantik, sehingga ayah selalu cemburu padamu. Maaf Bu, aku belum sempat menanyakannya padamu tentang hal-hal kecil itu.

Kau juga tidak pernah dengar ceritaku Bu, bagaimana aku menghadapi haid pertamaku. Yang membuat jantungku berdebar karena takut. Takut yang belum tahu sebabnya. Ya, aku belum pernah mendapat penjelasan apa-apa tentang hal ini.

Mestinya akupun curhat padamu, saat pertama kalinya aku merasa kebingungan yang tiba-tiba. Tiba-tiba saja ingin bertemu dengan seseorang yang membuatku berdebar-debar, perut mulas, dan berkeringat dingin. Ingin rasanya aku mengeluarkan perasaanku dengan bercerita denganmu. Namun itu tidak pernah kulakukan.

Sepertinya adalah hal yang membahagiakan, melompat bersama saat aku dinyatakan lulus sebagai sarjana. Tapi yang terjadi, aku hanya diam menunduk. Mengingatmu.

Aku juga merasa bersalah, belum pernah membelikanmu barang yang kau inginkan, saat aku menerima gaji pertamaku. Menraktirmu makan malam, makanan kesukaanmu, yang aku sendiri tak pernah tahu. Bahkan, belanja bersamapun tidak pernah aku alami sensasinya.

Teringat Nasehat Ibu

“Bu, nanti aku dibelikan baju princess warna putih ya, biar aku secantik Cinderella.”

“Iya sayang, Tapi jangan nakal ya, khan kalau kamu tidak nakal, walau tanpa baju princess pun, kamu akan kelihatan cantik.”

“Bu, jangan lupa sepatu kaca ya. Biar aku semakin anggun”

“Asal kau rajin berbagi, sebab dengan begitu, tanpa sepatu kacapun kau terlihat anggun”

“Ada lagi Bu, aku mau dibelikan buku yang banyak. Biar aku semakin pintar.”

“Maka rajinlah mempelajari dan memahami, tentu kau akan pintar.”

Nina mengembalikan boneka-boneka ke kotaknya. Ayahnya terharu, menyaksikan dari balik pintu, memegang sepucuk surat lusuh tertanda mendiang istrinya.***


**Kompasiana, 20 Desember 2010

Gara-Gara Bola: Komentator Rumpi

“Wah, memang si Irfan hebat ya. Diusia yang masih muda sudah bermain dengan gemilang. Padahal ya, dia itu dulu pernah luntang-lantung lho, ditolak dari kesebelasan ini dan itu. Eh, sekarang malah jadi bintang.”

“Jangan salah, si Gonzales juga nggak kalah hebat loh. Dua kali malah dia membawa kemenangan timnas. Iya nggak? Dua kali lawan Filipina, ya si Gonzales itu yang buat gol. Pokoknya favoritku ya si Gonzales.”

“BePe tuh ya, walau sudah nggak sekenes dulu, tapi masih tangguh lo. Ya, mungkin karena faktor usia saja sih dia agak melorot. Memang sekarang jamannya si Irfan sama Gonzales.”

“Aduuuuh… kalo sayamah, teuteup Kang Maman atuhlah si jagoan. Gak ada yang ngalahin pokonamah”

Seorang bapak celingak-celinguk sambil membuka tudung saji tanpa isi di rumahnya yang sepi.

**Kompasiana, 20 Desember 2010

Waktu Kerja

06.00

Hmmm .. hari baru diminggu yang kesekian… Aaah… bersiap-siap merapikan diri. Mandi dan keramas bisa membuat badanku segar menghadapi kesibukan berat hari ini.

Err… rasanya kumis dan cambangku terlalu cepat bertumbuh. Baru kemarin kucukur, hari ini sudah terlihat membiru. Yap.. cukur kumis dan cambang, biar terlihat semakin muda dan klimis.

Istriku memang hebat, dia selalu menyiapkan setelan paling cocok untuk setiap harinya. Sesuai dengan irama mood dan kesibukan hari demi hari. Seperti pagi ini, dia menyiapkan kemeja wana maroon, dengan dasi salur warna maroon dan biru dongker. Terlihat semakin gagah dan berwibawanya diriku.

Tuan Dan Nyonya

“Ma, Papa pulang agak malam. Ada meeting dengan buyer. Papa belum bisa antar Mama ke dokter sekarang.” SMS dari tuan besar untuk nyonya.

“Ya sudah Pa, Mama ke dokter sendiri, biar dianter si Bardi.” Balasan SMS nyonya.

“Min, suruh si Bardi siap-siap. Saya mau ke dokter sekarang.” Teriakan nyonya mengagetkanku yang sedang merapikan tempat tidur besarnya.

Aku berlari menuju ruang belakang.
“Kang, nyonya mau ke dokter. Akang diminta antar dia.”

Bardi mengangguk sambil matanya menatapku tajam. Aku begitu merindukannya, menantikannya mengucapkan kata-kata itu.

Duh, Kang.. kapan kita menikah? Sudah 2 tahun kita pacaran. Sejak aku jadi pelayan di rumah mewah ini, dan kamu jadi sopir tuan dan nyonya.

***

“Min, nyonya sudah berangkat?” Tiba-tiba tuan besar muncul dihadapanku.
“Baru saja berangkat.” Jawabku yang langsung disambut dengan pelukan eratnya. Wajahku dihujani dengan kecupan mesranya. Sedetik kemudian kamipun bergumul dalam gelora membara.

***

“Bardi, hilangkan segala kegusaranmu itu. Biarkan mereka mereguk madu manis itu. Kita juga sedang menikmatinya bukan?” Kepala nyonya disandarkan ke dada Bardi, sambil tangannya mengelus perutnya yang membuncit.

___

Repost dari Ubud Writers Festival, dalam rangka meramaikan FF di Rangkat

**Kompasiana, 8 Desember 2010

Lelaki Itu

Kulit kusamnya berpeluh dan berdebu. Tubuh kekarnya berbalut kaus oblong putih yang sudah menjadi krem. Dari ujung gang dia berjalan cepat, masuk ke sebuah rumah kecil di seberang jalan ini. Wajahnya memang asing. Tapi aku tahu siapa dia. Seorang yang sedang dikontrak sebagai borongan pada salah satu perumahan baru. Hanya tinggal sendirian saja di rumahnya yang kecil dan kumuh itu.

Bukan itu saja, aku juga mengetahui setiap detil perjalanan hidupnya. Tentu informasi yang terbukti kebenarannya, dan kudapat dari seseorang yang benar-benar terpecaya.

Ya, lelaki itu pada masa mudanya adalah seorang yang gagah rupawan. Ini yang tak terekam pada jejak dan raut mukanya kini. Begitulah, dia menjadi seorang yang digilai banyak wanita. Namun hatinya hanya tertuju pada seorang kembang desa, Maryamah.

Ada cinta tumbuh dihati mereka, mendalam. Namun menjadi terlarang karena tidak disetujui orang tua Maryama. Mereka sudah mempunyai calon untuk menjadi suami Maryamah.

Atas dasar cinta yang kuat dan berjanji sehidup semati, mereka menjadikan hubungan ini terlarang. Maryamah mengandung. Seiring dengan membuncitnya perut, si lelaki itu tiba-tiba menghilang. Lenyap ditelan senyap. Maryamah sedih, hampir saja bunuh diri. Orang tuanya dengan memaksa menikahkan Maryamah dengan lelaki pilihan mereka.

Bisa dibayangkan rumah tangga seperti apa yang dijalani Maryamah. Sang suami ternyata berperangai kasar, apalagi merasa diatas angin.

Kekerasan mewarnai kehidupan mereka. Sampai puncaknya, Maryamah harus menghadap Sang Pencipta, disaat putri mereka berumur 5 tahun. Sang suami pun ditahan.

Hff…. Aku menghela nafas. Membayangkan kisah hidup yang suram ini. Apakah lelaki itu pernah mencari tahu kabar Maryamah? Aku mengetahuinya.Apa mungkin perlu kuberitahu?

Aku masih duduk di bangku kayu warung sederhana ini. Dari dalamnya bisa kulihat rumah lelaki itu, persis di seberang jalan. Ingin sekali kudatangi rumah itu, mengeuk pintunya dan mengatakan

“Ini aku, Ratri, putri tunggal Maryamah, kekasih yang kau campakkan.. Pak!”

Dengan berat kulangkahkan kakiku… kemana? Aku sendiri tak tahu arah mana yang akan kutuju.

**Kompasiana, 3 Desember 2010

Tentang Rasa Ini

Melihat mereka berduaan selalu membuatku muak. Seperti tidak ada hal penting lain yang bisa mereka lakukan selain bermesra-mesraan. Ya, pasangan paling romantis itu, menurut orang lain sih, kerap datang di taman ini, seperti membuntutiku.

Aku sudah berusaha mencari tempat yang paling damai, di sebuah bangku tua dekat pohon besar, dekat sebuah sumur tua. Bagi kebanyakan orang, tempat ini begitu suram, gelap. Tapi buatku paling indah, apalagi untuk menyembunyikan diri dari lirikan atau tatapan aneh yang seperti menghujam ke ulu hatiku..

Tapi, kenapa mereka seperti tidak tahu, kalau itu singgasanaku? Mereka menempati bangku yang bersisian dengan bangku yang kutempati untuk membaca dan menghabiskan waktu.

Selalu begitu keadaanya, dan selalu aku yang terpojok. Tidak mungkin aku mencari tempat lain. Dan dengan terpaksa tentunya aku menyaksikan drama percintaan ini setiap saat. Huh, sial!

Suara manja yang mendayu-dayu bersahutan suara bariton, menusuk-nusuk ditelingaku. Entah mereka membicarakan apa saja. Aku seperti tidak mengerti bahasa mereka. Yang kuinginkan sebenarnya hanyalah tidak ingin mendengar apa-apa. Tapi telingaku belum tuli. Huh!

Dia

Dia ada dihadapanku. Tertawa menyeringai. Tapi aku sungguh tidak mengerti apa yang lucu baginya.

“Ada apa kamu tertawa? “

Dia tidak menjawab. Hanya tertawa.

Aku heran. Padahal setahuku dia baru saja terkena masalah, lebih tepatnya musibah.

“Apakah ada yang lucu?”

Dia semakin terbahak dengan tawanya.

Aku geram. Kenapa dia bisa begitu gembira, sedangkan suami dan anaknya sekarang entah dimana?

Aku sangat tahu. Dulu dia hidup berbahagia. Bergelimang dengan harta dan kasih sayang suaminya. Anak lelaki tunggalnya pun sudah berhasil menjadi sarjana. Namun bahagianya bersanding tipis dengan kekacauan rumah tangganya.

Kejadian seminggu yang lalu telah membuktikan bahwa cinta dan kesetiaannya sia-sia. Dengan dalih tidak ada kecocokan lagi, suaminya berhasil memasukkan orang ketiga dalam kehidupannya. Menjadi semakin parah manakala si orang ketiga adalah mantan kekasih putra tunggalnya.

Para lelaki tersebut bersitegang. Amarah dan benci menjadi letupan dahsyat perseteruan mereka. Dan setanpun tertawa menyaksikannya manakala si orang ketiga melepas ajal ditangan sang mantan.

Dia dihadapanku. Tertawa semakin terbahak.

“Hei, putramu dibui kau malah tertawa. Suamimu menghilang ditelan senyap kau malah bahagia.” Aku menghardiknya.

Dia tertawa keras, sampai-sampai air matanya mengalir. Aku tersinggung, seakan-akan aku melakukan hal yang konyol dan menggelikannya. Namun semakin aku mengingatkannya, semakin keras tawanya.

Kegeramanku memuncak. Pandanganku gelap. Dalam meraba, hanya sepatuku yang teraih.

“Prang……!”

Serpihan cermin berhamburan. Dihadapanku hanya tembok putih kusam yang menertawaiku.

**Kompasiana, 1 Oktober 2010

Senyummu Merontokkan Jantungku

Kulit mulus tanpa jerawat. Tak berbulu tak berkumis, bersih. Rahang kokoh menopang wajah manis bermata teduh. Postur yang tinggi dan tegap. Dari wajah sampai bodi sebelas duabelas dengan Lee Min Hoo, tahukan siapa dia….

Sedikit grogi saat matanya bertumbukan dengan mataku. Hmm, kopiku terasa pahit, entah kurang gula, entah rasaku sudah tak karuan karena sosok diseberang mejaku ini. Semilir AC di café ini sudah tak terasa, berganti hawa gerah.

Duh… semakin grogi diriku, saat senyumnya yang menawan mampir menghampiri pandanganku. Mataku menyapu seluruh ruang. Tapi sepertinya hanya aku satu-satunya wanita muda dan sendiri. Di pojok kiri ada sepasang manula yang tetap eksis memperlihatkan kemesraannya. Di sebelah kanan mejaku duduk 2 pasang pengusaha paruh baya sedang berbisnis.

Kali ini dia mengerlingkan matanya. Ampun deh.. kenapa jantungku mendadak dag dig dug serrr?

Kusibakkan rambutku dengan gaya anggun, agar terlihat seksi. Tanganku tak henti-hentinya memencet-mencet handphone yang sudah off sejak tadi karena low bat. Hanya mencari kesibukan untuk menghilangkan grogi yang semakin menjadi.

Tiba-tiba lelaki itu berdiri, berjalan kearahku. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya.


Jantungku berdegup kencang… oh toloooong, kenapa aku seperti kehabisan nafas?

Hampir sampai, jarak setengah meter didepanku, aku menutup mata… dag dig dug semakin kencang.

Seperti ini lho senyum mautnya :-D

Oh.. dia melewatiku. Menghampiri lelaki brewok dibelakangku, saling berciuman pipi.

Jantungku rontok….. hatiku luluh lantak, tercecer dilantai café yang dingin.

**Kompasiana, 28 Juli 2010

Menuju Senja

Mata bening itu menitikkan bulir indahnya. Dalam balutan gaun putih panjangnya, dia memandangku. Bibirnya bergerak-gerak namun tak terdengar sesuatu olehku.

“Putriku, kau ingin bicara apa sayang?”

Dia bagaikan putri yang dikelilingi awan yang empuk dan halus. Tangannya melambai kepadaku. Matanya menatapku. Kosong.

“Kau mau kemana putriku? Ibu tidak ingin kehilanganmu!” Aku menjerit.

Sesosok putih bersinar melayang, berdiri ditengah kami. Memandangi kami berdua silih berganti. Lalu ia mengepakkan sayapnya dan menggamitku. Aku ringan dan terbang bersamanya.

Langit menjadi senja. Seorang gadis kecil dalam pangkuan ayahnya keluar dari kompleks pemakaman.

**Kompasiana, 27 Juli 2010

Bahagia Dalam Damai

Sekarang waktu kita untuk berdampingan

Saling berpegangan melawan rasa

Memohon pada sang detak

Sejenak membiarkan detiknya

Terpasung dalam bahagia abadi

Karena … sesaat lagi

Waktumu bukan milikku lagi






Dalam hatimu yang beku

Kutitipkan setitik kehangatan cintaku

Yang akan selalu menemanimu

mengembara menghadap Sang Khalik







Selamat mengarungi ruang kehidupan baru

Kan kuluangkan segenggam rindu

Diujung biru hatiku

Yang akan selalu tertutup rapat

Karena kau saja

Yang dapat membukanya





———————-

* Untuk seorang sahabat (maaf kalo puisinya masih jelek)

** Terinspirasi dari kisah sedih di Cina, Zhuang Huagui (26 tahun) yang berencana menikah pada tanggal 4 Februari 2010. Tetapi pada tanggal 28 Januari 2010, calon istrinya, Hu Zhao’e meninggal karena ditusuk oleh perampok dirumahnya. Zhuang memutuskan untuk tetap mengadakan upacara pernikahan, yang dilanjutkan dengan upacara pemakaman bagi istrinya, Hu Zhao’e.

*** Foto-foto dari milis

Tahukah Kau?

Tahukah kau,

Bulan dan Bintang ditakdirkan untuk bersama

Dan Matahari adalah kawan seperjuangan dalam masa yang berbeda

Seperti juga halnya,

Bunga dan kupu-kupu bersejoli

dalam naungan Pohon yang rindang

namun tak pernah mereguk manisnya madu.

*
Tahukah kau,

Hujan dan Pelangi adalah kesedihan dalam harapan

sesekali petir menerangi dan guruh memekakan

namun semuanya mendendangkan irama harmoni

*
Tahukah kau,

itulah cintaku padanya

yang terlindung dalam damaimu


**Kompasiana, 25 Februari 2010