[Proyek 50K] bagian ke - 3

Hari ini hari Jumat, seperti biasanya aku harus menyelesaikan segala pekerjaanku, berharap agar saat weekend aku tidak mempunyai tanggungan pekerjaan. Sebisa mungkin aku meluangkan waktu untuk bersantai sejenak dari tumpukan pekerjaan yang semakin menggunug. Selain itu, aku berusaha menepati janjiku padanya, untuk menyediakan waktu di malam minggu berkencan dengannya. Ini semua adalah usahaku agar terhindar dari serangan omelan dan muka kecutnya. Walau terkadang kusadari aku begitu menikmati melihatnya wajahnya yang ditekuk, dengan senyum masamnya, serta cerocosan dan omelannya. Bagiku dia terlihat semakin cantik dengan semua itu.


Aku teringat saat pertama kali kami berkenalan. Saat itu dia masih mahasiswa baru dikampus kami. Aku sebagai salah satu senior yang bertugas menggojlok para yunior. Karena suatu hal, dia harus dihukum oleh seorang seniornya. Dan hukumannya adalah merayuku dengan sepenuh hati, sambil menyanyi. Dengan muka kupasang tegang dan sadis, aku menatapnya saat merayu sambil menyanyi. Suaranya bergetar ketakutan, sangat lirih. Aku membentaknya, memintanya menyanyi dengan suara lebih keras lagi. Dia kaget dan tiba-tiba terisak menangis. Aku kaget bukan main. Kebingungan menghadapi seorang wanita menangis didepanku, aku akhirnya melarikan diri dari hadapannya, dengan tanpa bisa berbuat apa-apa.

[proyek 50K] bagian ke - 2

Ketika sapa menjadi canda,
ketika canda mengawali harap,
hadirlah rasa.

Ketika asa datang
dan rasa menggamitnya
apakah yang bisa ditolak
selain hadirnya cinta?




Sudah berminggu-minggu aku menunggu jawaban email darinya. Sedikit heran, kenapa bisa ada orang yang lupa menyimpan file-file sedemikian penting? Aku mungkin bukan hanya heran, tapi merasa jengkel juga. Rasa penasaranku harus tertahan tak terpuaskan hanya karena dia lalai. Entahlah, tiba-tiba aku merasa uring-uringan sendiri. Tapi dipikir-pikir lucu juga diriku ini, buat apa aku jengkel begini.

Belum berjudul [Proyek 50K] bagian ke - 1

Cinta memang misterius dari mana hadir dan kemana arahnya tidak ada yang bisa menebak. Cinta juga mudah menular, seperti virus flu yang mudah menghinggapi siapa saja. Tidak peduli kaya miskin, jabatan tinggi atau rendah, sedang sibuk atau banyak bengong. Siapa saja bisa terkena virus ini.

Seperti diriku ini, mungkin, sudah tertular virusnya atau masih dalam taraf inkubasi. Entahlah, yang jelas sekarang aku sendiri sedang bingung menghadapi situasi hatiku yang sebenarnya. Kebingungan yang membuat perutku mendadak mulas kalau ingat satu nama itu. Nama penyebar virus cinta ini, kalau boleh dikatakan begitu.

Dia Yang Tak Pernah Kukenal


Aku baru saja menapakkan kakiku, kembali kekota itu. Sudah berapa lama aku tidak pernah mengunjunginya. Dan kini, diantara kesibukanku, aku memaksakan diri untuk sekedar mencari kabar dan bercakap-cakap walau hanya dalam hitungan menit.

Aku tak tahu apakah dia masih mengenaliku. Mungkin sudah banyak perubahan pada penampilanku. Jauh berbeda dengan saat aku pertama mengunjunginya.

***

Di pasar Beringharjo yang ramai, walau waktu masih menunjukkan pukul 3 dini hari, delapan belas tahun yang lalu. Aku bersama seorang teman berkeliling mengitari pasar. Niat kami mencari informasi yang dibutuhkan untuk tugas lapangan. Saat itu kami sedang mengikuti pelatihan jurnalistik..

Entah apa yang akan kami cari sebagai bahan tulisan kami. Kami hanya memandangi para wanita-wanita perkasa, yang bertugas sebagai kuli angkut dan bongkar muat pasar.

Tiba-tiba aku sadar telah terpisah dari temanku. Aku yang seorang pendatang, dengan keterbatasan bahasa, hanya bisa bingung kesana-kemari. Seorang diri diantara orang-orang yang tak kukenali hamper membuatku putus asa. Sanpai-sampai ada orang iseng yang “menawarku” segala. Wajarlah, gadis keliaran malam-malam disangka menjajakan diri. Untunglah ada seorang wanita tua penjaja gula merah yang sejak tadi memperhatikanku. Dia mengatakan kepada orang iseng tersebut kalau aku itu cucunya. Orang tersebutpun pergi sambil bergumam tak jelas.

Wanita tua itu menanyakan keadaanku dalam bahasanya yang khas. Aku terbata-bata menjawabnya.

Aku duduk sambil nyeruput teh yang ditawarkan padaku, memperhatikan wanita tua itu berjualan. Saat itu sudah pukul 5 pagi. Semakin banyak orang berbelanja, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk warung atau usaha lainnya. Lama-lama, aku tidak bisa berdiam diri, sambil sesekali berbincang dan bercanda, walau dengan dialek yang berbeda, aku ikut membantunya, menimbang dan membungkuskan gula merah untuk para pembeli yang semakin banyak.

Tanpa terasa aku merasa begitu dekat dengan sosoknya, dibalik kesederhanaannya ada kesahajaan yang memancar. Terasa hangat olehku. Seakan aku sudah mengenalnya sebelum ini.

Tiba-tiba aku melihat temanku berjalan diantara orang-orang yang lalu lalang. Saat itu waktu menunjukkan pukul 7 pagi. (Wah ternyata, aku belum mandi… ). Akupun berlari menghampiri temanku. Kemudian kami berpamitan. Wanita itu tersenyum menyalami aku dan memelukku lama sekali. Sempat kaget karena tidak terpikir akan sedemikian sambutannya.

***

Di lorong pasar Beringharjo yang kini tampak lebih modern, aku mencari-cari diantara kios-kios yang ada. Bertanya kesana kemari akhirnya aku mendapatkan jawaban.

Wanita tua itu sudah lama tidak berjualan di pasar. Dari cerita yang simpang siur aku mendapat kesimpulan, sehari setelah bertemu denganku, putri satu-satunya tewas tertabrak truk pengangkut saat akan membantu berjualan. Sejak saat itu dia sakit jiwa, setiap hari kerjanya berkeliling pasar. Hanya berjalan.

Aku berniat pulang saat kami saling berhadapan. Pakaiannya kumal, tubuhnya bungkuk dan renta. Rambutnya gimbal. Dia sama sekali tak peduli dengan sekelilingnya. Dan akupun hanya memandangnya.

Dalam gelisah malam, kulihat sekelebat sinar dari matanya. Entah memancarkan kekecewaan atau kesedihan. Yang kutahu dari sosoknya, dengan badan membungkuk, dia melangkah terseok. Berjalan menuju samar cahaya diujung pasar.

—————–

* Hanya sempat tuk diingat

*diposting di Kompasiana, 10 Februari 2010

Kita Butuh Orang Lain


“Ibu, ini kenapa siiih… Khina kok gak bisa salaman sendiliiiii?” Putri kecilku ngambek sambil mau menangis.

“Aduh, Khina kenapa sih pake teriak-teriak?” Aku sedikit agak sewot juga menjawabnya. Hmmm pagi-pagi sudah ribut, mana waktu mepet dan semua serba tergesa-gesa untuk bersiap menuju aktifitas masing-masing.

Suamiku yang sedang sibuk mengurusi keperluannya untuk dibawa ke kantor langsung mendekati putri kami. “Khina kenapa” Kok tangannya dipegangi terus? Sakit?”

“Ini nih… kenapa sih tangannya Khina gak bisa salaman sendiliiiiii” Oh, ternyata dia melihat orang sedang salaman di TV yang sudah on sejak pagi.

Antara jengkel tapi juga geli, aku mendekatinya. Sambil menghirup nafas panjang (untuk meredakan emosi nih) aku duduk disampingnya. “Khina, coba salaman sama Ibu, bisa enggak?” Aku menyodorkan tangan kananku padanya. “Hihihi bisa Ibu, Khina bisa salaman!” Teriaknya kegirangan.

“Nah, itu artinya kita semua butuh orang lain, sampai salamanpun juga butuh orang lain. Gitu kan sayang?” Putriku mengangguk-angguk sambil tersenyum senang.

“Terima kasih sayang, Ibu sayang Khina!” Aku tersenyum juga.

“Khina sayang Ibu, sayang Ayah” Sahutnya sambil kembali berlari-lari dan membuat gaduh.

Pelajaran kecil di pagi hari. Buat putriku dan buatku juga. Bahwa kita hidup tidak lepas dari dukungan, bantuan dan eksistensi orang lain.

Sama seperti di Rumah Sehat Kompasiana ini, saya, anda, kita semua, butuh bantuan orang lain untuk saling membantu, mensupport satu sama lain untuk maju bersama-sama.

*Diposting di Kompasiana, 15 Januari 2010

Sang Lelaki Tangguh

Menangis …. hanya memeluk bundanya

Tertawa …. hanya berbagi dengan bundanya

Belajar …. hanya dari mulut bundanya

Tidur …. Hanya dalam dekapan bundanya

..Ayah..

Maaf, kata bundanya, tidak ada ayah untukmu, tapi bunda sanggup buatmu kelak menjadi lelaki tangguh.

Namun untuk saat ini, bundalah lelaki tangguhmu.

Bunda akan ajarkan bagaimana menangis dalam kesepian, saat kau pertama kali bersapa dengan dunia ini. Tanpa siapapun wahai sang pemberi semangat, agar kau menjadi lelaki yang kuat.

Bunda akan ajarkan bagaimana tertawa dalam ketawaran hati, saat kecemasan berpihak dan hanya sepi yang menggigit, agar kau tak pernah merasa sepi sendiri.

Bunda akan ajarkan padamu bahwa dunia tempat segalanya, namun surgalah semuanya tertuju, agar kau menjadi lelaki bermoral penuh hati nurani.

Bunda akan mendekapmu tidur sampai kau selalu merasa aman, agar kau menjadi lelaki penyayang yang selalu melindungi yang lemah.

Namun sekali lagi, tidak ada kata ayah untukmu, biarlah bunda saja yang menjadi lelaki tangguhmu. Agar kau mengerti bagaimana menjadi kuat dalam kelembutan.

~ dedicated to my lovely sister, thanks for the inspiration~

Suatu Waktu di Perempatan


Sudah berulang kali aku melihatnya, berdiri di pinggir jalan perempatan lampu lalin sambil berteriak-teriak tak jelas. Pakaian kumal dan topi coklat buluknya yang entah dulunya berwarna apa, tidak pernah lepas dari kesehariannya. Dengan tangan teracung ia mendekati satu persatu pengendara motor atau mobil diperhentian lampu merah sambil berteriak kacau “hatush!…. hatush!…”

Sudah berulang kali pula aku selalu menghindar dari colekannya. Bila lampu merah sempat memberhentikanku di perempatan itu, aku berusaha mengarahkan sepeda motorku ditengah2 pengendara yang lain agar sulit dijangkau olehnya. Entah kenapa, ada perasaan sebal dicolek-colek olehnya. Yang kutahu, bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu. Makanya, ketika lampu merah berganti hijau, serentak semua melarikan diri.

Namun kali ini ada yang lain setiap kali aku melewati perempatan tersebut. Teriakan tak jelasnya tak terdengar, tangan teracungnya tidak terlihat dari kejauhan. Ada perasaan lega untukku saat harus dihentikan lampu merah.

Dua kali, tiga kali, terus berulang dan selalu seperti itu. Sampai suatu saat aku terhenti diperempatan itu, kudengar percakapan para pengamen pinggir jalan yang juga sering mangkal ditempat itu. Ternyata mereka sedang membicarakan si kumal tersebut.Saat ini ia tengah sakit parah. Hujan panas yang selama ini menemaninya menyebabkan fisiknya kian memburuk. Dan dengan kondisi mental yang terbelakang, ditambah keadaan ekonominya yang buruk tidak memungkinkan untuknya berobat.

Tiba-tiba saja ada perasaan iba meruak dalam hatiku. Setiap hari dia harus berdiri dipinggir jalan hanya memohon belas kasihan, meminta-minta uang seratus rupiah. Tapi mengapa aku merasa rugi kehilangan seratus rupiah dengan menghindarinya. Aku terus memikirkannya. Dan setiap kali melewati perempatan itu, aku menebarkan pandangan, berusaha mencari dan berharap melihatnya berdiri di pinggir jalan. Namun sosok kumal itu tidak pernah terlihat.

—————————————–

Sudah berulang kali aku melewat perempatan itu. Dan sudah berulang kali pula aku berharap melihatnya berdiri disana. Mengacungkan tangannya dan berteriak-teriak tak jelas. Tapi tidak berharap untuk dicolek-colek olehnya, hanya ingin tahu keadaannya saja.

Namun kali ini ada yang lain saat aku melewati perempatan tersebut. Si kumal itu berdiri disana, dengan pakaian kumalnya dan topi coklat buluknya. Dengan tangannya yang teracung mendekati satu persatu pengendara sambil berteriak kacau “mahatush! ….mahatush!”

Olala… sudah naik jadi limaratus rupiah.