Tentang Rasa Ini

Melihat mereka berduaan selalu membuatku muak. Seperti tidak ada hal penting lain yang bisa mereka lakukan selain bermesra-mesraan. Ya, pasangan paling romantis itu, menurut orang lain sih, kerap datang di taman ini, seperti membuntutiku.

Aku sudah berusaha mencari tempat yang paling damai, di sebuah bangku tua dekat pohon besar, dekat sebuah sumur tua. Bagi kebanyakan orang, tempat ini begitu suram, gelap. Tapi buatku paling indah, apalagi untuk menyembunyikan diri dari lirikan atau tatapan aneh yang seperti menghujam ke ulu hatiku..

Tapi, kenapa mereka seperti tidak tahu, kalau itu singgasanaku? Mereka menempati bangku yang bersisian dengan bangku yang kutempati untuk membaca dan menghabiskan waktu.

Selalu begitu keadaanya, dan selalu aku yang terpojok. Tidak mungkin aku mencari tempat lain. Dan dengan terpaksa tentunya aku menyaksikan drama percintaan ini setiap saat. Huh, sial!

Suara manja yang mendayu-dayu bersahutan suara bariton, menusuk-nusuk ditelingaku. Entah mereka membicarakan apa saja. Aku seperti tidak mengerti bahasa mereka. Yang kuinginkan sebenarnya hanyalah tidak ingin mendengar apa-apa. Tapi telingaku belum tuli. Huh!


Dan lagi-lagi, buku yang kubaca menjadi kosong tanpa isi. Otakku hanya berputar-putar pada pemikiranku sendiri. Ah seandainya.. Ya, seandainya, ada banyak andai-mengandai menguar dari kepalaku.

Sebetulnya, bukan benci yang keluar dari hatiku. Hanya perih dan luka akibat cemburu. Cemburu karena merasa tak mampu menjadi seperti si wanita itu, yang selalu bergelayut manja padanya.,yang selalu dibelai tangan kekarnya. Apapun yang dilakukan si wanita itu selalu indah ditatap olehnya. Selalu bisa membuatnya tersenyum dan tertawa.

Aku menjerit dalam hati… Mestinya itu aku, yang membuat dirinya tertawa bahagia. Mestinya itu aku yang membuatnya mabuk asmara. Dan di taman ini juga mestinya kami selalu berkencan, saling bertemu melepas rindu.

Rasanya aku ingin menangis. Ya, semua begitu indah, seandainya aku tidak terlalu gembira. Berlari-lari bagai anak kecil mendapat permen, saat dia mengucapkan ikrar sehidup sematinya. Sumur tua menarikku kedalamnya. Meninggalkan cintaku yang membahana.

Aku pernah mencintai lelaki itu, dulu, pada dimensi yang sama dengannya.

***

**Kompasiana, 30 November 2010

0 komentar: