Galaunya Hati Tia

13004241611479123550



Sudah 5 malam ini, Tia sendirian. Suaminya pamit lembur. Tidak biasanya. Di usia pernikahan 10 tahun yang masih sepi ini, Tia tampaknya tidak lagi bisa komplain apa-apa. Adalah hatinya yang terbeban selama ini, Tia belum mampu memberikan keturunan. Banyak hal tentang kesuburan ini, tubuh Tia adalah faktor penyebabnya. Itulah yang membuat Tia seperti pasrah jika suaminya pamit untuk lembur. Pikirannya sudah kemana-mana. Ke tempat-tempat dimana semua dugaan perselingkuhan terjadi. Ada kecemburuan namun Tia meletakannya pada tempat bernama hak. Tia seperti merasa tidak berhak lagi untuk cemburu.

Namun begitu, kadang, dengan sengaja atau tanpa sengaja, Tia selalu berusaha ingin tahu, melirik ke handphone yang dipegang suaminya. Ada harapan yang bukan harapannya, kalau-kalau sebuah sms rayu-merayu yang sengaja ataupun nyasar bisa terbaca olehnya. Mungkin, walau hatinya memanas, tapi rasa penasarannya bisa terobati, atau malah mempertajam sisi keingintahuannya? Bisa jadi.

“Sarapan dulu mas!”

“Nanti saja di kantor, aku terburu-buru.”

Sudah pagi yang kesekian, Arya selalu terburu-buru. Ada semacam kesan menghindar. Ada kesan menutup perbincangan. Kesan yang dingin. Tidak ada lagi kehangatan. Entah kemana larinya kehangatan.

“Sebentar ya, aku masih di jalan. Sabar ya sayang.”

Sebuah SMS terkirim dari handphone Arya, bukan untuk Tia. Untuk seseorang yang lain, tempat dimana kehangatan itu lari dari Tia. Berawal dari curhat iseng Arya di dunia maya yang berlanjut pada ajakan berkencan. Dan kini, ruang bayang Arya hanya dipenuhi sosok perempuan itu. Sosok Tia hanya hadir sebagai bagian dari tanggung jawab dan kewajiban saja. Tidak ada obrolan penuh bunga-bunga itu lagi, tidak ada kerling-kerling penuh arti dan kemesraan yang dulu pernah terangkai bersama. Baginya Tia hanya ada disana, sisi terluar dirinya.

“Aku masih merasa ini salah Mas.”

“Apa yang diharapkan dari sebuah pernikahan? Anak kan? Ini tentang cinta yang tidak berbuah. Dan padamu, buah itu aku harapkan. Cinta yang berbuah.”

Sang perempuan mengangguk dan begitulah sebuah obrolan bertaut menjadi hangat. Sebenarnya tidak selalu hangat, ada gangguan kehangatan itu.Tia. Arya merasakan kalau akhir-akhir ini Tia menjadi begitu penuh selidik padanya. Tapi Arya tak ambil pusing. Justru dia merasakan semuanya ini sebagai hal-hal yang menyenangkan, sembunyi-sembunyi dengan penuh debar tentu membuat adrenalinnya terpacu. Dan hal inilah yang semakin menimbulkan sensasi yang luar biasa. Rasa yang baru pernah dirasakannya lagi selama rentang masa perkawinannya. Sensasi yang terus mengalir ke ujung-ujung syarafnya dan membuatnya selalu ingin dan ingin terus bertemu, dengan perempuan itu.. Ya, perempuan itu, yang tiba-tiba muncul mengoyak kabut hatinya, menanamkan rindu dan mencipta semua gelegak rasa berbalut harapan, buah cinta.

“Aku tidak ingin berprasangka buruk pada suamiku. Aku hanya ingin percaya pada kesetiaannya. Tapi mengapa hatiku berkata lain?”

Begitu selalu hati Tia merintih, mempertanyakan segala perubahan sikap Arya. Dan Arya semakin hari semakin tak bisa menutupi perasaannya. Bagai remaja yang jatuh cinta, rasanya seperti diawang-awang.
Tapi untuk kali ini, Tia tidak bisa tinggal diam. Bukan karena cemburu yang membabi buta, tapi ada dorongan halus yang menguar, mungkin naluri kewanitaannya. Membuatnya berani untuk mengungkapkan apa yang semestinya diketahui oleh suaminya.

“Mas, nanti bisa pulang lebih awal? Ada hal penting yang mau kusampaikan. Tolong, sekali ini saja dengarkan aku.”

Sms dari Tia melupakan sebuah sms yang masuk sebelumnya. Kali ini Arya seperti tersadar akan posisinya yang masih sebagai suami Tia. Baiknya ia menuruti apa kata Tia.

“Mas, aku tiba-tiba ingin makan jambu air. Antar aku ke toko buah ya.” Kata Tia pada Arya setibanya dirumah.

“Ah, ini yang kau sebut penting itu? Kenapa nggak tunggu besok pagi. Pasar sudah tutup.”

“Mas, ini bukan sekedar rasa ingin.. tapi harus, dan harus sekarang. Kamu tau apa ini mas?”

Ditangan Tia sebuah kertas panjang kecil dengan dua garis tebal berwarna merah. Benda kecil yang mampu bercerita banyak tanpa kata.

“Lho? Lho? Kamu hamil? Kamu mengandung anakku?” Tia mengangguk.

Arya tiba-tiba melonjak kegirangan bagai anak kecil menang undian. Lengkung bibir Tia tergurat membentuk senyum kecil. Walau selintas terasa benar kalau itu adalah sebuah senyum penuh harapan. Harapan untuk memenangkan hati suaminya.

Disudut kota, seorang perempuan dan secangkir kopi panas menyatu dalam siluet senja. Si perempuan memegang handphonenya dengan harapan ada sms balasan untuknya.***


* Tulisan kolaborasi Nuraziz Widayanto + Deasy

0 komentar: