Suatu Waktu di Perempatan


Sudah berulang kali aku melihatnya, berdiri di pinggir jalan perempatan lampu lalin sambil berteriak-teriak tak jelas. Pakaian kumal dan topi coklat buluknya yang entah dulunya berwarna apa, tidak pernah lepas dari kesehariannya. Dengan tangan teracung ia mendekati satu persatu pengendara motor atau mobil diperhentian lampu merah sambil berteriak kacau “hatush!…. hatush!…”

Sudah berulang kali pula aku selalu menghindar dari colekannya. Bila lampu merah sempat memberhentikanku di perempatan itu, aku berusaha mengarahkan sepeda motorku ditengah2 pengendara yang lain agar sulit dijangkau olehnya. Entah kenapa, ada perasaan sebal dicolek-colek olehnya. Yang kutahu, bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu. Makanya, ketika lampu merah berganti hijau, serentak semua melarikan diri.

Namun kali ini ada yang lain setiap kali aku melewati perempatan tersebut. Teriakan tak jelasnya tak terdengar, tangan teracungnya tidak terlihat dari kejauhan. Ada perasaan lega untukku saat harus dihentikan lampu merah.

Dua kali, tiga kali, terus berulang dan selalu seperti itu. Sampai suatu saat aku terhenti diperempatan itu, kudengar percakapan para pengamen pinggir jalan yang juga sering mangkal ditempat itu. Ternyata mereka sedang membicarakan si kumal tersebut.Saat ini ia tengah sakit parah. Hujan panas yang selama ini menemaninya menyebabkan fisiknya kian memburuk. Dan dengan kondisi mental yang terbelakang, ditambah keadaan ekonominya yang buruk tidak memungkinkan untuknya berobat.

Tiba-tiba saja ada perasaan iba meruak dalam hatiku. Setiap hari dia harus berdiri dipinggir jalan hanya memohon belas kasihan, meminta-minta uang seratus rupiah. Tapi mengapa aku merasa rugi kehilangan seratus rupiah dengan menghindarinya. Aku terus memikirkannya. Dan setiap kali melewati perempatan itu, aku menebarkan pandangan, berusaha mencari dan berharap melihatnya berdiri di pinggir jalan. Namun sosok kumal itu tidak pernah terlihat.

—————————————–

Sudah berulang kali aku melewat perempatan itu. Dan sudah berulang kali pula aku berharap melihatnya berdiri disana. Mengacungkan tangannya dan berteriak-teriak tak jelas. Tapi tidak berharap untuk dicolek-colek olehnya, hanya ingin tahu keadaannya saja.

Namun kali ini ada yang lain saat aku melewati perempatan tersebut. Si kumal itu berdiri disana, dengan pakaian kumalnya dan topi coklat buluknya. Dengan tangannya yang teracung mendekati satu persatu pengendara sambil berteriak kacau “mahatush! ….mahatush!”

Olala… sudah naik jadi limaratus rupiah.

0 komentar: