Felicia Diandra Krishna Dewi nama anakku.

(12 Juni 2007, Selasa Kliwon, Pkl. 12.05 wib, RS Ananda Purwokerto)

Saat dia hadir ke dunia ini, beribu bahagia yang tak terungkap kata seperti menyelimuti dan menghangati hati kami sebagai orang tua.

Semua terekam dalam benak dan hatiku detik-detik si mungil hadir.
Saat dimana aku merasakan kontraksi, aku tahu kalau dia juga mulai merasakan kesakitan tubuhnya.
Saat aku mengelus perutku dan mengatakan “Anakku, Ibu sayang kamu dan ingin kamu terlahir sehat”, aku tahu kalau dia juga berjuang dengan kekuatan dari tubuh mungilnya untuk kehidupannya.
Saat dia menangis sekuat tenaga, membiarkan paru-parunya terisi oleh udara kehidupan baru, aku menangis tanpa suara, membiarkan jiwaku dipenuhi hawa hangat kehidupannya.
Saat matanya yang besar menatap sekeliling, mataku tak lepas-lepas menatap wajah mungilnya yang cantik.

Saat ini dia bagai bunga yang mewarnai hidup kami. Bagai malaikat kecil yang selalu menebar kebaikan.

Semua terukir dalam detik-detik waktu yang berjalan.
Saat dia dengan matanya yang berbinar memandangku, seperti mengucap “Selamat pagi Ibu! Mari sambut hari ini dengan penuh gairah!”
Saat tangan-tangan mungilnya mulai menggapai-gapai, menyentuh lembut pernak-pernik kehidupan dunia.
Saat bibir mungilnya mengocehkan puisi indah yang hanya dimengerti oleh keterikatan kasih sayang ibu dan anak..
Saat kualirkan air kehidupan untuknya, akupun memandang ke kedalaman matanya sambil berbisik “Ibu sayang kamu!”. Dia pun memandangku dalam, seakan berkata “Terima kasih susunya Bu!”
Saat kami bermain bersama, diapun mulai merangkak untuk menggapai harapannya.

Saat dia mulai melangkahkan kakinya, dan akan menapaki kedewasaan diri, aku hanya bisa membekalinya dengan kasih sayang, yang menjadi pegangan hidupnya, sandaran hatinya, pijakkan langkahnya, tuntunan jiwanya. Semoga dia menjadi seseorang yang berarti bagi sekelilingnya, seperti cahaya yang menyinari kegelapan.

Setitik dari sepenuh ungkapan bahagia yang tidak terkatakan.

Cerita Ayah untuk Krishna

Suatu ketika, hiduplah sebatang Pohon Apel besar dan Anak lelaki yang senang bermain-main dibawah Pohon apel itu setiap hari. Anak lelaki itu sangat mencintai Pohon Apel tersebut, demikian pula Pohon Apel tersebut sangat mencintai Anak kecil itu.

Waktu terus berlalu, Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan Pohon Apel itu setiap harinya.

Suatu hari Anak kecil tersebut mendatangi Pohon Apel itu dengan "wajah sedih" lalu Pohon Apel tersebut menyapa "ayo kesini bermain lagi denganku", tapi Anak lelaki menjawab "Aku bukan Anak kecil lagi yang bermain dengan Pohon, Aku ingin sekali memiliki mainan tapi tidak memiliki uang". Pohon Apel menyahut "maaf kalau uang Aku tak punya tapi Kau bisa mengambil dan menjual buah Apelku". Anak laki-laki itu sangat senang sekali, namun setelah itu anak laki-laki itu tak pernah datang lagi.

Suatu hari Anak laki-laki itu datang lagi. Pohon Apel sangat senang melihatnya datang. "ayo kesini bermain lagi denganku", kata Pohon Apel, tapi Anak lelaki menjawab "Aku harus bekerja untuk Keluargaku supaya bisa memiliki rumah untuk tempat tinggal. Maukah Kau menolongKu?". Pohon Apel menyahut "maaf kalau rumah Aku tak punya tapi Kau bisa mengambil dahan rantingku untuk membangun rumahmu". Lalu Anak lelaki itu menebang dahan dan ranting Pohon Apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon itu kembali bersedih.

Pada suatu musim panas, Anak lelaki itu datang lagi. Pohon Apel sangat bersukacita melihat kedatangannya. "Aku bersedih karena Aku sudah tua dan ingin berlibur dengan berlayar maukah Kau memberi Aku sebuah kapal pesiar", kata anak lelaki itu. Jika kapal Aku tak punya tapi Kau bisa menggunakan batang tubuhku untuk membuat kapal yang Kau mau dan bersenang-senanglah.

Akhirnya bertahun-tahun kemudian Anak lelaki itu kembali datang. "Maaf Anakku" kata Pohon Apel tersebut "Aku sudah tidak bisa memberikan apa-apa lagi karena buah, ranting dan batangku sudah tidak ada yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua ini" sambil menitikkan air mata. "Aku sudah tidak memerlukan apa-apa lagi sekarang karena Aku sekarang sudah tua dan sekarat" kata Anak lelaki itu. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat dengan tenang". "Ooh bagus sekali karena Akar-akar tuaku ini tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat". Berbaringlah Anak lelaki itu dalam pelukan akar-akar Pohon Apel tersebut. Pohon Apel itu sangat gembira dan tersambil meneteskan air matanya.

Pohon Apel itu adalah Orang tua kita. Ketika muda, kita senang bermain dengan Orang tua kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka dan kita akan datang hanya jika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apapun Orang tua kita akan selalu ada disana untuk memberikan apa yang mereka bisa berikan demi kebahagian kita.

Anda mungkin berpikir bahwa Anak lelaki itu bertindak sangat egois terhadap Pohon itu, tetapi memang begitulah cara kita memperlakukan Orang tua kita.

Cintailah Orang tua kita dan berterima kasihlah atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.

*Sumber NN*