Diposting oleh
Idea
komentar (3)
***
kunang-kunang diujung kelam
saling berbagi sinar dan kehangatan
berbaris, berkelompok menyusuri gelap
*
satu kunang-kunang terbang sendiri
berharap bertemu kekasih hati
yang sinarnya selalu menemani
dalam malam-malam abadi
*
satu kunang-kunang diujung gelap
berbatas lampu pijar panas
membuatnya silap
hingga hangus lengas
bintang yang bersinar terang malam itu
kini menjadi sepasang
***
Label:
puisi
Diposting oleh
Idea
komentar (4)
Saya cinta bunga. Saya suka bunga, baik itu bunga hidup, ataupun hanya dalam bentuk foto atau gambar saja. Saking tergila-gilanya dengan bunga, saya sering berkhayal punya taman luas yang ditumbuhi segala macam bunga-bungaan.
Kecintaan saya pada bunga tumbuh sejak saya duduk di bangku SD. Saat itu saya sering memperhatikan nenek saya dalam merawat tanaman. Nenek saya senang bertanam. Beliau mempunyai koleksi tanaman mawar yang bermacam-macam. Salah satunya adalah mawar “matador”, istilah nenek saya. Disebut matador karena bunganya besar dan kelopaknya sangat banyak, berwarna merah tua.
Setiap hari tanaman-tanamannya dirawat seperti merawat bayi. Disirami secukupnya, kemudian dedaunannya diolesi susu dan dilap. Sambil tak lupa diajak berbicara, bercerita layaknya seorang nenek mendongengi cucunya.
Diposting oleh
Idea
komentar (2)
Suara gemericik air sungai dan hembusan angin yang keras menyapaku. Dedaunan yang saling bergesekkan menimpali dengan iramanya yang khas. Irama ilalang menyanyikan nada-nada minor ditimpali paduan suara serangga yang berderik-derik.
Ramai namun sunyi, itu yang kutangkap dari penjabaran indraku. Aku heran, bisa-bisanya aku berjalan sendiri hingga sampai ditempat ini.
Sedetik aku takjub dengan alam sekitarnya. Danau itu, gunung itu, jelas-jelas aku pernah melihatnya. Duh… kenapa aku jadi ternganga heran begini? Ini khan pemandangan yang seperti didalam foto itu? Yang selalu muncul di otakku. Kenapa aku bisa berada disini?
Aku memutar pandangan ke sekeliling. Sepi sekali, tidak ada rumah penduduk, tidak ada seorangpun. Wah, ternyata aku tersesat. Tiba-tiba aku merasakan hawa hangat berdesir. Ditempat yang demikian sepi, aku tidak merasakan ketakutan sama sekali. Malah merasa nyaman dan begitu begitu akrab. Aku seperti menemukan taman indahku. Tempat bermainku. Aku berlari kesana-kemari. Begitu lepas, tertawa dan menyanyi. Mmmm untungnya disini sepi, jadi tidak akan ada yang mendengar suara falsku ini pikirku.
Pandanganku tertuju pada satu sosok dipinggir danau itu. Diantara pohon-pohon besar itu. Ada sesosok yang tidak asing untukku, memperhatikanku menyanyi. Dia tertawa. Aku tersipu malu, menyadari suaraku yang fals tadi. Aku berlari kearahnya karena aku begitu mengenalinya. Tapi dia malahan berlari menjauh. Aku berlari sekuat tenaga, dia semakin menjauh.
Tiba-tiba aku tersandung batu besar dan.. Olala, aku terjatuh dari tempat tidurku. Sialan, ternyata aku bermimpi. Terbelit selimut dan bantal yang jatuh dimukaku, aku terbangun. Novel misteri yang sedang kubaca terbuka setengah halamannya.
Aku tepekur. Siapa gerangan yang tadi muncul di dalam mimpiku? Adakah dia pria yang selalu hadir setiap pagi melintas di depan rumahku. Kucoba ingat-ingat bagaimana bentuk mukanya. Muka sosok yang hadir di dalam mimpiku, juga muka pria yang selalu melintasi pagiku dengan tergesa.
Ah, dia… benar, itu dia. Pria itulah yang memang merasuki alam mimpiku. Pertanyaanku sekarang, siapa sebenarnya dia?
Kulirik jam di dinding kamarku, hampir pukul tiga dinihari. Aku beranjak dari tempat tidur untuk mencuci muka. Aku teringat, tadi sebelum tertidur aku sedang membaca novel misteri yang belakangan sedang marak diperbincangkan. Aku mengikuti keingin tahuanku untuk menyibak apa sebenarnya isi novel misteri itu. Aku ingin mengetahui kenapa novel ini begitu fenomenal sehingga orang-orang ramai membicarakannya. Aku ingin tahu. Maka, aku menunda kebiasaan tidur lamaku demi menghabiskan separuh cerita novel itu.
Kembali kubaca halaman demi halaman novel itu. suasana hening subuh membuat aura novel itu benar-benar mengeluarkan sisi misterinya. Bulu kudukku kadang-kadang berdiri. Namun, rasa penasaran terus menggelayuti pikirku dan mengalahkan rasa takutku.
Tak terasa hampir seluruh halaman novel itu telah kulahap. Aku membalik halaman terakhir. Tertera tulisan: diangkat dari kisah nyata. Misteri meninggalnya pria muda di jalan kemangi 23. Konon katanya pria muda ini adalah penggemar rahasia seorang perempuan yang tinggal di kawasan jalan kemangi itu. Kematiannya menjadi misterius karena tak satu orang pun tahu, bagaimana cara dia menghabisi nyawanya. Dia, kadang selalu menampakkan diri terhadap perempuan yang dia cintai itu.
Aku bergidik ngeri. Aku selalu melihat sosok pria yang tak pernah kulihat kecuali pagi hari. Mungkinkah pria itu adalah tokoh dari kisah yang kubaca ini? Adakah perempuan yang dia sukai itu aku? O tidak… Jalan kemangi 23 itu tak jauh dari rumahku. Dan memang, dua tahun lalu, sempat ditemukan sosok pria, meninggal bunuh diri di sebuah rumah kost yang tak jauh dari rumahku.
Tiba-tiba aku bergidik ngeri. Bulu kudukku berdiri sempurna. Aku melempar novel itu dan membenamkan diriku dalam selimut. Berharap hari segera pagi. (DM/HS)
-oOo-
* Tulisan kolaborasi Hadi Samsul + Deasy
Diposting oleh
Idea
komentar (0)
Sudah 5 malam ini, Tia sendirian. Suaminya pamit lembur. Tidak biasanya. Di usia pernikahan 10 tahun yang masih sepi ini, Tia tampaknya tidak lagi bisa komplain apa-apa. Adalah hatinya yang terbeban selama ini, Tia belum mampu memberikan keturunan. Banyak hal tentang kesuburan ini, tubuh Tia adalah faktor penyebabnya. Itulah yang membuat Tia seperti pasrah jika suaminya pamit untuk lembur. Pikirannya sudah kemana-mana. Ke tempat-tempat dimana semua dugaan perselingkuhan terjadi. Ada kecemburuan namun Tia meletakannya pada tempat bernama hak. Tia seperti merasa tidak berhak lagi untuk cemburu.
Namun begitu, kadang, dengan sengaja atau tanpa sengaja, Tia selalu berusaha ingin tahu, melirik ke handphone yang dipegang suaminya. Ada harapan yang bukan harapannya, kalau-kalau sebuah sms rayu-merayu yang sengaja ataupun nyasar bisa terbaca olehnya. Mungkin, walau hatinya memanas, tapi rasa penasarannya bisa terobati, atau malah mempertajam sisi keingintahuannya? Bisa jadi.
“Sarapan dulu mas!”
“Nanti saja di kantor, aku terburu-buru.”
Sudah pagi yang kesekian, Arya selalu terburu-buru. Ada semacam kesan menghindar. Ada kesan menutup perbincangan. Kesan yang dingin. Tidak ada lagi kehangatan. Entah kemana larinya kehangatan.
“Sebentar ya, aku masih di jalan. Sabar ya sayang.”
Sebuah SMS terkirim dari handphone Arya, bukan untuk Tia. Untuk seseorang yang lain, tempat dimana kehangatan itu lari dari Tia. Berawal dari curhat iseng Arya di dunia maya yang berlanjut pada ajakan berkencan. Dan kini, ruang bayang Arya hanya dipenuhi sosok perempuan itu. Sosok Tia hanya hadir sebagai bagian dari tanggung jawab dan kewajiban saja. Tidak ada obrolan penuh bunga-bunga itu lagi, tidak ada kerling-kerling penuh arti dan kemesraan yang dulu pernah terangkai bersama. Baginya Tia hanya ada disana, sisi terluar dirinya.
“Aku masih merasa ini salah Mas.”
“Apa yang diharapkan dari sebuah pernikahan? Anak kan? Ini tentang cinta yang tidak berbuah. Dan padamu, buah itu aku harapkan. Cinta yang berbuah.”
Sang perempuan mengangguk dan begitulah sebuah obrolan bertaut menjadi hangat. Sebenarnya tidak selalu hangat, ada gangguan kehangatan itu.Tia. Arya merasakan kalau akhir-akhir ini Tia menjadi begitu penuh selidik padanya. Tapi Arya tak ambil pusing. Justru dia merasakan semuanya ini sebagai hal-hal yang menyenangkan, sembunyi-sembunyi dengan penuh debar tentu membuat adrenalinnya terpacu. Dan hal inilah yang semakin menimbulkan sensasi yang luar biasa. Rasa yang baru pernah dirasakannya lagi selama rentang masa perkawinannya. Sensasi yang terus mengalir ke ujung-ujung syarafnya dan membuatnya selalu ingin dan ingin terus bertemu, dengan perempuan itu.. Ya, perempuan itu, yang tiba-tiba muncul mengoyak kabut hatinya, menanamkan rindu dan mencipta semua gelegak rasa berbalut harapan, buah cinta.
“Aku tidak ingin berprasangka buruk pada suamiku. Aku hanya ingin percaya pada kesetiaannya. Tapi mengapa hatiku berkata lain?”
Begitu selalu hati Tia merintih, mempertanyakan segala perubahan sikap Arya. Dan Arya semakin hari semakin tak bisa menutupi perasaannya. Bagai remaja yang jatuh cinta, rasanya seperti diawang-awang.
Tapi untuk kali ini, Tia tidak bisa tinggal diam. Bukan karena cemburu yang membabi buta, tapi ada dorongan halus yang menguar, mungkin naluri kewanitaannya. Membuatnya berani untuk mengungkapkan apa yang semestinya diketahui oleh suaminya.
“Mas, nanti bisa pulang lebih awal? Ada hal penting yang mau kusampaikan. Tolong, sekali ini saja dengarkan aku.”
Sms dari Tia melupakan sebuah sms yang masuk sebelumnya. Kali ini Arya seperti tersadar akan posisinya yang masih sebagai suami Tia. Baiknya ia menuruti apa kata Tia.
“Mas, aku tiba-tiba ingin makan jambu air. Antar aku ke toko buah ya.” Kata Tia pada Arya setibanya dirumah.
“Ah, ini yang kau sebut penting itu? Kenapa nggak tunggu besok pagi. Pasar sudah tutup.”
“Mas, ini bukan sekedar rasa ingin.. tapi harus, dan harus sekarang. Kamu tau apa ini mas?”
Ditangan Tia sebuah kertas panjang kecil dengan dua garis tebal berwarna merah. Benda kecil yang mampu bercerita banyak tanpa kata.
“Lho? Lho? Kamu hamil? Kamu mengandung anakku?” Tia mengangguk.
Arya tiba-tiba melonjak kegirangan bagai anak kecil menang undian. Lengkung bibir Tia tergurat membentuk senyum kecil. Walau selintas terasa benar kalau itu adalah sebuah senyum penuh harapan. Harapan untuk memenangkan hati suaminya.
Disudut kota, seorang perempuan dan secangkir kopi panas menyatu dalam siluet senja. Si perempuan memegang handphonenya dengan harapan ada sms balasan untuknya.***
* Tulisan kolaborasi Nuraziz Widayanto + Deasy
Label:
cerpen
,
kolaborasi
Diposting oleh
Idea
komentar (0)
***
kabarnya
semalam bulan hilang
belum sempat kutanyakan
kenapa tak menyapaku
dan kau hanya tersenyum
jemarimu menggenggam
bibirmu
menyentuh tipis telingaku
desahnya membisik
ini bulanmu. dalam genggamku
***
puisi iseng hasil sambung-menyambung.
kabarnya
semalam bulan hilang
belum sempat kutanyakan
kenapa tak menyapaku
dan kau hanya tersenyum
jemarimu menggenggam
bibirmu
menyentuh tipis telingaku
desahnya membisik
ini bulanmu. dalam genggamku
***
puisi iseng hasil sambung-menyambung.