Kau tahu betapa hati ini hanya tertuju padamu. Sekian lama
sudah rajutan asmara kita untai bersama, hingga akhirnya tinggal mengikatkan
satu simpul. Menjadikannya kuat, hingga tak terurai. Menjadi satu bagian utuh
yang tak terpisahkan lagi. Kaupun semestinya begitu, yang kutahu hatimu tak
pernah terbuka pada siapapun. Cukup kepadaku, seperti yang selalu kau
dengungkan pada bisik di telingaku.
“Jadilah milikku, mau?”
Aku menangis. Bukannya menolak, namun aku tak sanggup menjawabnya.
Padahal sekian lama aku mempersiapkan segala jawab apabila tanya ini hadir.
Dengan segala kebesaran hati, aku sudah sangat siap dengan tanya ini. Dan
dengan segala cinta, sudah kusiapkan jawab atas tanyamu. Hingga akhirnya saat itu tiba,
aku justru hanya diam terpaku.
“Jadilah milikku, mau?”
Aku menggelengkan kepala. Bukan. Aku bukan menolak pintamu,
hanya saja kepalaku harus kugelengkan sekencang-kencangnya. Agar bayangmu
hilang dari kepalaku. Juga segala bisikmu di telingaku semalam. Biar kenanganmu saja yang jadi milikku.
Hanya mampu berdoa, semoga kau beristirahat dengan tenang,
sambil terus kukutuk bis sialan yang merenggutmu dariku.
0 komentar:
Posting Komentar