Ketika sapa menjadi canda,
ketika canda mengawali harap,
hadirlah rasa.
Ketika asa datang
dan rasa menggamitnya
apakah yang bisa ditolak
selain hadirnya cinta?
Sudah berminggu-minggu aku menunggu jawaban email darinya. Sedikit heran, kenapa bisa ada orang yang lupa menyimpan file-file sedemikian penting? Aku mungkin bukan hanya heran, tapi merasa jengkel juga. Rasa penasaranku harus tertahan tak terpuaskan hanya karena dia lalai. Entahlah, tiba-tiba aku merasa uring-uringan sendiri. Tapi dipikir-pikir lucu juga diriku ini, buat apa aku jengkel begini.
Aku teringat Wenny yang sedang menungguku makan siang bersama. Bergegas aku keluar dari ruangan kantorku yang ternyata sudah sepi sejak tadi. Wenny sudah gelisah menungguku. Kami berjalan beriringan menuju kantin.
Disiang hari yang panas ini, kami sepakat memesan gado-gado untuk makan siang. Plus untukku, es jeruk tanpa gula. Hmmm entah kenapa, aku begitu suka rasa kecutnya jeruk nipis.
“Nia, udah dapat belum file foto yang kemarin kamu ceritakan?” Wenny tiba-tiba mengingatkan aku tentang foto itu. Aku memang sempat menceritakan padanya, kalau aku begitu suka dengan foto itu. Wenny sempat heran bagaimana bisa aku begitu berniat untuk tahu tentang detil foto yang menurut Wenny sedikit imajinatif. Seakan-akan foto itu hanya khayalan.
“Itu dia Wen, masak si fotografernya lupa dimana menyimpan file-filenya. Wah, benar-benar payah.” Kataku, teringat kejengkelanku yang tiba-tiba muncul kembali.
Gado-gado datang, dan siap menghapus rasa jengkelku tadi.
“Memangnya kenapa kamu suka dengan foto itu?” Wenny tiba-tiba bertanya lagi
“Nggak tahu, aku seperti pernah berada disana. Yah, seperti de javu mungkin ya. Pokoknya, mata dan hatiku benar-benar tersedot ke foto itu. Makanya aku benar-benar penasaran. Ada apa dengan foto itu.” Aku mengungkapkan perasaanku. Ya, aku sendiri sedikit heran, diantara sekian banyak foto-foto pemandangan yang demikian banyak, hanya pada foto itu saja aku begitu tertarik. Ada satu sisi kerinduan dalam hati yang tiba-tiba begitu melihat foto itu. Apa memang aku pernah melihatnya sebelum ini ya? Huh… misterius.
Wenny hanya mengangguk-angguk tak jelas.
Sabtu malam, dengan berbekal beberapa toples camilan dan novel-novel pinjaman, aku mengikrarkan diri untuk menikmati sisa hari itu dengan bersantai sendirian di kamarku. Ya, ini weekend kesekian kalinya aku menghabiskannya sendirian. Ajakan Weeny dan Yulia untuk menginap di villa paman Wenny kutolak dengan halus. Sudah sering mereka mengajakku untuk mengisi kesepianku dengan bermacam-macam kegiatan. Tapi rasanya aku terlalu enggan untuk ikut bergembira sedangkan aku tidak merasa gembira. Susah untuk dipaksakan gembira, mengingat hati ini sedang lelah. Lelah menanti kabar darinya.
Sebenarnya sih aku sudah jelas mengetahui dan mengerti kalau kepergiannya karena tugas. Dan sebagai orang yang menjunjung tinggi profesionalitas, aku pun memakluminya. Hanya saja, sifat kekanak-kanakanku tidak bisa kuhalangi bila tiba-tiba muncul begitu saja. Siapa sih yang nggak mau malam minggunya ditemani kekasihnya? Walau hanya sekedar berbincang-bincang ringan saja, berjalan-jalan menghabiskan malam, walau cuma berjalan kaki disekeliling kompleks perumahanku. Apalagi kalau bisa makan malam bersama disebuah café yang ramai, atau malah rumah makan taman yang sepi dan romantis. Tapi sekali lagi, itu cuma keinginan bodoh dan kekanak-kanakan saja, mungkin.
Begitu pula saat kakak laki-lakiku mengajakku mengantarkan Ibu ke rumah adiknya, tante kami, aku menolak. Aku hanya ingin sendirian di rumah. Menikmati kesendirian dan tenggelam bersama novel-novel yang sudah menantiku. Ini memang sudah kurencanakan sejak awal minggu.
Saat mereka pergi, akupun benar-benar menjalankan ritualku ini. Kukunci kamarku. Ibu sudah membawa kunci rumah juga, jadi aku tidak perlu terganggu untuk membukakan pintu saat mereka pulang nanti.
*
Suara gemericik air sungai dan hembusan angin yang keras menyapaku. Dedaunan yang saling bergesekkan menimpali dengan iramanya yang khas. Irama ilalang menyanyikan nada-nada minor ditimpali paduan suara serangga yang berderik-derik.
Ramai namun sunyi, itu yang kutangkap dari penjabaran indraku. Aku heran, bisa-bisanya aku berjalan sendiri hingga sampai ditempat ini.
Sedetik aku takjub dengan alam sekitarnya. Danau itu, gunung itu, jelas-jelas aku pernah melihatnya. Duh… kenapa aku jadi ternganga heran begini? Ini khan pemandangan yang seperti didalam foto itu? Yang selalu muncul diotakku. Kenapa aku bisa berada disini?
Aku memutar pandangan kesekeliling. Sepi sekali, tidak ada rumah penduduk, tidak ada seorangpun. Wah, ternyata aku tersesat. Tiba-tiba aku merasakan hawa hangat berdesir. Ditempat yang demikian sepi, aku tidak merasakan ketakutan sama sekali. Malah merasa nyaman dan begitu begitu akrab. Aku seperti menemukan taman indahku. Tempat bermainku. Aku berlari kesana-kemari. Begitu lepas, tertawa dan menyanyi. Mmmm untungnya disini sepi, jadi tidak akan ada yang mendengar suara falsku ini pikirku.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada satu sosok dipinggir danau itu. Diantara pohon-pohon besar itu. Ada sesosok yang tidak asing untukku, memperhatikanku menyanyi. Dia tertawa. Aku tersipu malu, menyadari suaraku yang fals tadi. Aku berlari kearahnya karena aku begitu mengenalinya. Tapi dia malahan berlari menjauh. Aku berlari sekuat tenaga, dia semakin menjauh.
Tiba-tiba aku tersandung batu besar dan.. dug! Olala, aku terjatuh dari tempat tidurku. Sialan, ternyata aku bermimpi. Terbelit selimut dan bantal yang jatuh dimukaku, aku terbangun. Novel misteri yang sedang kubaca terbuka setengah halamannya.
Menilik dan melihat apa yang sedang kubaca saat ini, aku sedikit terheran kenapa foto itu bisa begitu masuk dalam mimpiku tadi?
Aku mengucek-ucek mataku. Jam dinding menunjukkan pukul 02.30. Aku menduga pasti ibu dan kakakku sudah pulang. Aku melanjutkan tidurku lagi.***
~masih bersambung~
(maaf masih gak karu-karuan... gak nyambung :-D )
Diposting oleh
Idea
Label:
fiksi
,
kampung fiksi: januari 50 ribu
0 komentar:
Posting Komentar